Wednesday, June 17, 2015

MAKALAH PARADIGMA KONSTRUKTIVISME

BAB 1
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
            Upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi (hukum) pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri, bahkan ada yang mengatakan bahwa: “hukum pidana merupakan the older philosophy of crime control ”.[1] Sampai saat ini pun, hukum pidana masih digunakan dan “diandalkan” sebagai salah satu sarana politik kriminal.[2] Hal tersebut dapat dilihat dari adanya ancaman pidana pada hampir setiap produk perundang-undangan yang dikeluarkan oleh badan legislatif negara ini, meskipun produk perundang-undangan tersebut tidak termasuk dalam perundang-undangan yang tidak mengatur secara spesifik tentang suatu tindak pidana. Kondisi demikian membawa konsekuensi terhadap Sistem Peradilan Pidana Indonesia dalam menangani tindak kejahatan hampir seluruhnya selalu berakhir di penjara. Padahal penjara bukanlah satu-satunya solusi terbaik dalam menyelesaikan tindak kejahatan, khususnya tindak kejahatan dengan “kerusakan” yang ditimbulkannya masih bisa di restorasi, sehingga kondisi yang telah “rusak” dapat dikembalikan ke keadaan semula.
            Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 amandemen ke III (tiga), menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum. Hal ini berarti bahwa Indonesia harus menjunjung tinggi hukum serta dalam tindakannya harus didasarkan pada hukum atau peraturan yang diciptakan untuk mengatur suatu tatanan di dalam pemerintahan, termasuk juga warga negaranya.
Indonesia adalah negara kepulauan dengan aneka ragam suku bangsa dan budaya, juga memiliki keanekaragaman hukum adat. Keanekaragaman hukum tersebut pada akhirnya melahirkan perbedaan dari masing-masing daerah dalam hal penyelesaian konflik. Masing-masing daerah mempunyai mekanisme penyelesaian konflik sendiri-sendiri.            Penyelesaian konflik dalam masyarakat di Indonesia didasari pada budaya untuk penyelesaian secara musyawarah atau konsiliasi merupakan nilai yang paling banyak dianut masyarakat di Indonesia. Berbagai suku bangsa Indonesia mempunyai budaya penyelesaian konflik secara damai dengan suatu kesepakatan tertentu atau tanpa adanya kesepakatan. Penyelesaian konflik secara musyawarah untuk secepat mungkin diadakan perdamaian berkembang sebagai hukum adat. Hukum adat sebagai suatu sistem hukum memiliki pola tersendiri dalam menyelesaikan sengketa.
            Sehingga dalam kehidupan bermasyarakat tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat beberapa realitas-realitas hukum nyata yang harus diperhatikan. Hukum tidak hanya berdasarkan pada peraturan peraturan yang ada. Hukum tidak hanya diselesaikan berdasarkan dengan KUHAP, yang memuat berbagai hal mengenai proses penyidikan, penyelidikan, penuntutan, hingga sampai ke proses persidangan. Terdapat jalan lain di dalam menyelesaikan proses perkara hukum, salah satu contohnya adalah mediasi secara hukum adat. Tidak dapat dipungkiri juga bahwa, hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, selain hukum positif itu sendiri. Terdapat berbagai tingkatan dan susunan sosial di dalamnya. Tingkatan tingkatan tersebut berkaitan erat dengan realitas yang ada di dalam masyarakat, yaitu realitas majemuk dan beragam. Realitas ini adalah salah satu dari set basic belief dalam paradigma konstruktivisme.
            Paradigma konstruktivisme ialah paradigma dimana kebenaran suatu realitas sosial dilihat sebagai hasil konstruksi sosial, dan kebenaran suatu realitas sosial bersifat relatif. Paradigma konstruktivisme ini berada dalam perspektif interpretivisme (penafsiran) yang terbagi dalam tiga jenis, yaitu interaksi simbolik, fenomenologis dan hermeneutik. Paradigma konstruktivisme dalam ilmu sosial merupakan kritik terhadap paradigma positivis. Menurut paradigma konstruktivisme realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat digeneralisasikan pada semua orang, seperti yang biasa dilakukan oleh kaum positivis.
Paradigma konstruktivisme belum tentu hukum adat, namun hukum adat sudah pasti konstruktivisme. Yaitu, melihat bahwa tidak semua hukum adat adalah konstruktivisme, contohnya mengenai hal hal berkaitan dengan adat istiadat/tata cara berperilaku di dalam masyarakat adat. Namun, penyelesaian kasus hukum dengan jalan hukum adat adalah konstruktivisme. Hal ini dilihat bahwa paradigma konstruktivisme sangat dipengaruhi oleh kesepakatan, yang mengutamakan dialog antara subjek subjek hukum yang terlibat. Karena dengan adanya kesepakatan, itu sudah merupakan suatu hukum. Tertulis atau tidak, itu hanya sebagai suatu formalitas belaka, jika sudah ada kesepakatan antar pihak di dalamnya.

Penyelesaian kasus pemerkosaan yang terjadi di Nabire Papua yang diselesaikan dengan hukum adat. Yang mana keluarga korban pemerkosaan memilih menyelesaikan masalah tersebut dengan hukum adat. Keluarga korban meminta pelaku untuk membayar denda sebesar Rp 150 juta dengan jaminan, warga menahan delapan wanita dari pihak keluarga pelaku.


B. RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana kasus pemerkosaan yang terjadi di Nabire, Papua tersebut dilihat dari pandangan  Paradigma Konstruktivisme (lengkap dengan set basic belief ontologi, epistemologi dan metodologinya) ?
2.      Jika di dalam paradigma postpositivisme memasukkan sedikit moral untuk mencapai keadilan komutatif  kemudian apa bedanya dengan paradigma konstruktivisme yang juga ingin mencapai keadilan komutatif?

C. TUJUAN
1.      Untuk mengetahui pandangan Paradigma Konstruktivisme terhadap kasus pemerkosaan yang terjadi di Nabire, Papua.
2.      Untuk mengetahui bagaimana Paradigma Pospositivisme dan Kostruktivisme mencapai keadilan komutatif.










BAB 2
PEMBAHASAN
1. Paradigma Konstruktivisme dengan Set Basic Belief Ontologi, Epistemologi Dan Metodologinya dalam Menjelaskan Kasus Pemerkosaan Di Nabire, Papua

KASUS
Kasus Perkosaan di Nabire Papua Diselesaikan dengan Hukum Adat
Rabu, 06 February 2013| 06.02 WIB

Nabire - Satu dari sepuluh pelaku pemerkosaan gadis berusia 13 tahun di Distrik Uwapa, Nabire, Papua, ditangkap warga di jalan, Selasa (5/2). Saat ditangkap, pelaku sedang menumpang kendaraan umum, dalam perjalanan melewati Kampung Gerbang Sadu Wadio menuju Nabire.

Yosep Mote pun digiring warga ke rumah kepala kampung. Ia diminta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya bersama sembilan rekannya yang lain. 

Di hadapan kepala kampung dan warga, Yosep mengakui perbuatannya. Namun Yosep mengaku tidak mengetahui keberadaan sembilan rekannya.

Keluarga korban memilih menyelesaikan masalah tersebut dengan hukum adat. Keluarga korban meminta pelaku membayar denda sebesar Rp150 juta. Sebagai jaminan, warga menahan delapan wanita dari pihak keluarga pelaku.

Menanggapi keputusan tersebut, Polsek Nabire Barat memutuskan menghormati cara penyelesaian melalui adat yang disepakati pihak yang terlibat.
Walaupun persoalan ini telah di sepakati untuk menyelesaikan dengan hukum adat,  tetapi kota nabire masih terlihat mencekam.
Sumber Artikel: Rasudo FM News

            Dalam penyelesaian suatu sengketa, yang memberikan/menciptakan keadilan bagi masing-masing pihak,  tidak lepas dari sebuah kenyakinan paradigma. Menurut Guba dan Lincon (dalam buku Denzin dan Lincoln: Handbook of Qualitative Reasearch) memaknakan paradigma sebagai suatu sistem filosofis payung/utama yang melingkupi atau terbangun oleh ontology, epistemology, dan metodologi tertentu yang tidak begitu saya dapat dipertukarkan antara paradigma yang satu dengan paradigma yang lainnya, serta yang merepresentasikan beliefs system dasar yang merekatkan si penganut/pemegang paradigma pada worldview tertentu.[3] Sehingga setiap keadilan yang diciptakan atau diyakini oleh setiap orang akan sangat berbeda satu sama lain karena masing-masing atau secara bersama-sama melandaskan/dilandaskan pada suatu paradigma yang mereka yakini. Hal ini dikaitkan dengan paradigma apa yang digunakan sebagai pemandu bagi mereka dalam menyelesaikan/melihat suatu kasus untuk menafsirkannya. Dengan demikian, jelaslah bahwa ukuran keadilan dan apa yang dimaksud keadilan itu adalah berbeda antar setiap  orang. Pendapat mengenai hukum itu berbeda untuk setiap orang, karena perbedaan paradigma yang diyakini berbeda.
            Mengenai ontology (hakikat hukum) berdasarkan paradigma konstruktivisme merupakan realitas majemuk dan beragam yang diamati seseorang berdasarkan pengalaman sosial-individu, lokal dan spesifik. Melihat bahwa hukum adalah suatu kenyataan yang banyak dan beragam berdasarkan konteks-konteksnya masing-masing. Ketika ada sepakat maka sudah ada hukum. Merupakan konstruksi mental atau intelektualitas manusia yang bentuk dan isi berpulang pada penganut serta murni subjektif.
Paradigma konstruktivisme belum tentu hukum adat, namun hukum adat sudah pasti konstruktivisme. Yaitu, melihat bahwa tidak semua hukum adat adalah konstruktivisme, contohnya mengenai hal-hal berkaitan dengan adat istiadat/tata cara berperilaku di dalam masyarakat adat. Namun, penyelesaian kasus hukum dengan jalan hukum adat adalah konstruktivisme. Hal ini dilihat bahwa paradigma konstruktivisme sangat dipengaruhi oleh kesepakatan, yang mengutamakan dialog antara subjek-subjek hukum yang terlibat. Karena dengan adanya kesepakatan, itu sudah merupakan suatu hukum. Tertulis atau tidak, itu hanya sebagai suatu formalitas belaka, jika sudah ada kesepakatan antar pihak di dalamnya.
Paradigma konstruktivisme yang ditelusuri dari pemikiran Weber, menilai perilaku manusia secara fundamental berbeda dengan perilaku alam, karena manusia bertindak sebagai agen yang mengkonstruksi dalam realitas sosial mereka, baik itu melalui pemberian makna ataupun pemahaman perilaku dikalangan mereka sendiri.[4]  Kajian pokok dalam paradigma konstruktivisme menurut Weber, menerangkan bahwa substansi bentuk kehidupan di masyarakat tidak hanya dilihat dari penilaian objektif saja, melainkan dilihat dari tindakan perorangan yang timbul dari alasan-alasan subjektif. Weber juga melihat bahwa tiap individu akan memberikan pengaruh dalam masyarakatnya tetapi dengan beberapa catatan, dimana tindakan sosial yang dilakukan oleh individu tersebut harus berhubungan dengan rasionalitas dan tindakan sosial harus dipelajari melalui penafsiran serta pemahaman.  Paradigma konstruktivisme merupakan respon terhadap paradigma positivisme dan memiliki sifat yang sama dengan positivis, dimana yang membedakan keduanya adalah objek kajiannya sebagai start-awal dalam memandang realitas sosial. Positivis berangkat dari sistem dan struktur sosial, sedangkan konstruktivisme berangkat dari subjek yang bermakna dan memberikan makna dalam realitas tersebut. Paradigma konstruktivisme adalah dapat ditelusuri dari pemikiran Weber yang menjadi ciri khas bahwa prilaku manusia secara fundamental berbeda dengan prilaku alam. Manusia bertindak sebagai agen dalam bertindak mengkunstuksi realias sosial. Cara konstruksi yang dilakukan kepada cara memahami atau memberikan makna terhadap prilaku mereka sendiri. Weber melihat bahwa individu yang memberikan pengaruh pada masyarakat tetapi dengan beberapa catatan, bahwa tindakan sosial individu berhubungan dengan rasionalitas. Tindakan sosial yang dimaksudkan oleh Weber berupa tindakan yang nyata-nyata diarahkan kepada orang lain. Juga dapat berupa tindakan yang bersifat “membatin”, atau bersifat subjektif yang mengklaim terjadi karena pengaruh positif dari situasi tertentu.Implikasi dalam paradigma konstruktivisme menerangkan bahwapengetahuan itu tidak lepas dari subjek yang sedang mencoba belajar untuk mengerti.
Hukum adat memiliki karakter yang khas dan unik bila dibandingkan dengan sistem hukum lain. Hukum adat lahir dan tumbuh dari masyarakat, sehingga keberadaannya bersenyawa dan tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Penyelesaian-penyelesaian konflik yang dilakukan melalui mekanisme hukum adat baik untuk perkara perdata maupun perkara pidana. Berbeda dengan hukum pidana barat, tujuan hukum pidana adat adalah memulihkan keseimbangan hukum yang menjadi tujuan segala reaksi atau koreksi adat sedangkan tujuan untuk memperbaiki orang yang salah, orang yang melanggar hukum, sebagai salah satu dasar yang terdapat pada sistem hukum pidana barat, tidak terdapat pada sistem hukum adat.[5]
            Kemajemukan masyarakat Indonesia, perbedaan yang ada, konflik yang mungkin dapat timbul, tidak selamanya dapat diselesaikan dengan menggunakan hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat yang menggunakan prinsip keseragaman : menganggap bahwa masyarakat yang satu sama dengan masyarakat yang lain.[6] Hasil dari penerapan sentralisasi selama ini adalah ketidakpuasan baik dari masyarakat, maupun pihak-pihak yang bertikai (dalam hal ini pelaku dan korban). Adalah kenyataan sesunguhnya bahwa hukum nasional/hukum positif belum tentu dapat menjamin keadilan yang diinginkan semua pihak, dan belum tentu bisa memulihkan kondisi masyarakat yang rusak akibat konflik tersebut. Hukum nasional/hukum positif hanya berpedoman bagaimana melindungi masyarakat, tanpa melihat apakah kepentingan masyarakat dan pihak-pihak yang bertikai telah dilindungi. Bagi masyarakat ditiap-tiap daerah yang masih berpegang pada aturan-aturan adat, penyelesaian konflik dengan menggunakan hukum adat dirasakan lebih menjamin keadilan dan lebih memiliki kekuatan nilai dibandingkan hukum nasional yang cenderung kurang berpihak. Hal ini disebabkan karena hukum adat merupakan kesepakatan bersama dari masyarakat setempat yang telah mempertimbangkan kepentingan-kepentingan masyarakat, individu, maupun pihak yang bertikai.
            Dalam kasus diatas yang mana keluarga dari korban pemerkosaan memilih penyelesaian kasus tersebut melalui hukum adat yakni dengan mencapai suatu kesepakatan antar pihak, yang dilakukan dan disaksikan oleh kepala kampung dan warga. Kesepakatan tersebut yaitu dengan pembayaran denda oleh pelaku sebesar Rp 150 juta. Penyelesaian melalui hukum adat dengan kesepakatan merupakan konstruktivisme. Sehingga hukum bagi masing-masing pihak adalah kesepakatan yang telah dibuat tersebut.
            Untuk Epistemologi nya adalah transaksional/subjektivis. Penganut/pemegang dan objek observasi/investigasi terkait secara interaktif, temuan di’cipta’/di’konstruksi’ bersama (kesepakatan/hukum merupakan hasil dari temuan yang dibuat secara bersama), fusi antara ontology dan epistemologi yaitu hukum dan penganutnya adalah satu. Dalam kasus di atas bahwa hukum merupakan kesepakatan yang berasal dari masing-masing pihak, hukum tidak merupakan undang-undang melainkan hasil yang dikonstruksikan oleh masing-masing mereka. Sedangkan Metodologi adalah hermeneutical/dialektikal. Konstruksi ditelusuri melalui interaksi antar dan sesama penganut/pemegang dan objek observasi/investigasi, dengan teknik hermeneutika dan pertukaran dialektikal ‘konstruksi’ tersebut di interpretasi, tujuan : destilasi ‘konstruksi’ konsensus atau ‘konstruksi’ resultante.[7]
          Paradigma konstruktivisme memayungi aliran interaksionisme simbolik dan legal konstuktivisme.
Interaksionisme Simbolik
Interaksi simbolik pada awalnya merupakan suatu gerakan pemikiran dalam ilmu sosiologi yang dibangun oleh George Herbert Mead. Mead yang dikenal sebagai bapak Teori Interaksionisme Simbolik ini menekankan sebuah pemahaman dunia sosial berdasarkan pentingnya makna yang diproduksi dan diinterpretasikan melalui simbol-simbol dalam interaksi sosial.[8] Para pemikir dalam tradisi teori interaksionisme simbolik dibagi menjadi dua aliran, yaitu aliran Iowa dan Chicago. Aliran Iowa meskipun mengacu pada prinsip-prinsip dasar pemikiran teori interaksionisme simbolik, kalangan pemikir aliran Iowa banyak yang menganut tradisi epistemologi dan metodologi post-positivis. Sedangkan Aliran Chicago banyak melakukan pendekatan interpretif berdasarkan rintisan pemikiran George Herbert Mead. George Herbert Mead mengemukakan bahwa makna muncul sebagai hasil interaksi diantara manusia, baik secara verbal maupun nonverbal. Melalui aksi dan respons yang terjadi, kita memberikan makna ke dalam kata-kata atau tindakan, dan karenanya kita dapat memahami suatu peristiwa dengan caracara tertentu. Dalam deskripsi Mead, proses “pengambilan peran” menduduki tempat yang penting. Interaksi berarti bahwa para peserta masing-masing memindahkan diri mereka secara mental ke dalam posisi orang lain. Dengan berbuat demikian, mereka mencoba mencari maksud dari aksi yang diberikan oleh pihak lain, sehingga komunikasi dan interaksi dimungkinkan. Jadi interaksi tidak hanya berlangsung melalui gerak-gerak saja, melainkan terutama melalui simbol-simbol yang perlu dipahami dan dimengerti maknanya. Artinya, geraklah yang menentukan. Dalam interaksi simbolik, orang mengartikan dan menafsirkan gerak-gerak orang lain dan bertindak sesuai dengan arti itu.
Interaksi simbolik mendasarkan gagasannya atas enam hal berikut ini :[9]
a. Manusia membuat keputusan dan bertindak pada situasi yang dihadapinya sesuai dengan    
    pengertian subjektifnya.
b. Kehidupan sosial merupakan proses interaksi, kehidupan sosial bukanlah struktur atau  
    bersifat struktural dan karena itu akan terus berubah.
c. Manusia memahami pengalamannua melalui makna dari simbol yang digunakan di
    lingkungan terdekatnya (primary group), dan bahasa merupakan bagian yang sangat
    penting dalam kehidupan sosial.
d. Dunia terdiri atas berbagai objek sosial yang memiliki nama dan makna yang ditentukan
    secara sosial.
e. Manusia mendasarkan tindakannya atas interpretasi mereka, dengan mempertimbangkan
    dan mendefenisikan objek-objek dan tindakan yang relevan pada situasi saat itu.
f. Diri seseorang adalah objek signifikan dan sebagaimana objek sosial lainnya, diri
    didefenisikan melalui interaksi sosial dengan orang lain.
            Yang mana bahwa pemahaman hukumnya adalah hukum sebagai interaksi dan perbuatan masyarakat, hukum sebagai interpretasi atau proses dari interpretasi yang ciri hukum nya yaitu makna-makna simbolih hasil interpretasi sebagaimana dalam dan dari aksi seta interaksi masyarakat. Sehingga kesepakatan saja sudah termasuk hukum dan hukum tertulis merupakan konsensus lanjutan.
Konstruktivisme legal
            Pemahaman hukum menurut konstruktivisme legal adalah hukum sebagai kesepakatan baik tertulis maupun tidak, hukum sebagai konstruksi mental dan hukum itu sebagai hasil dari pengalaman dalam kenyataan. Ciri hukum dalam aliran ini adalah (1) konstruksi mental yang bersifat relative, majemuk, beragam, intangible, lokal dan spesifik serta berbasis sosial/ eksperiential, (2) rekonstruksi/perubahan terjadi berkesinambungan sejalan dengan pengayaan informasi dan sofistikasi/pencanggihan atau oleh cipta rasa, (3) yang ada, setiap saat, adalah konsesus atau kesepakatan relative berkenaan dengan konstruksi tersebut sesuai dengan konsteks ruang dan waktu.
2. Keadilan Komutatif dalam Pandangan Paradigma Postpositivisme dan Pandangan Paradigma Konstruktivisme
Keadilan menurut Aristoteles seorang  filosof asal yunani adalah kelayakan dalam tindakan manusia. Kelayakan diartikan sebagai titik tengah antara kedua ujung ekstrem yang terlalu banyak dan terlalu sedikit. Kedua ujung ekstrem ini menyangkut dua orang atau benda. Bila kedua orang tersebut mempunyai kesamaan dalam ukuran yang telah ditetapkan, maka masing-masing orang harus memperoleh benda atau hasil yang sama, kalau tidak sama, maka masing – masing orang akan menerima bagian yang tidak sama, sedangkan pelangggaran terjadap proporsi tersebut disebut tidak adil. Keadilan komutatif merupakan keadilan yang bertujuan memelihara ketertiban masyarakat dan kesejahteraan umum. Bagi Aristoteles pengertian keadilan itu merupakan asas pertalian dan ketertiban dalam rnasyarakat semua tindakan yang bercorak ujung ekstrim menjadikan ketidakadilan dan akan merusak atau bahkan menghancurkan pertalian dalam masyarakat.
Di dalam pandangan postpositivisme yang berdasarkan  basic belief realisme kritis yaitu tidak melihat kenyataan itu apa adanya tapi mulai melihat kenyataan yang ada. Hukum pada hakikatnya adalah undang-undang yakni berbentuk, objektif dan nyata yang mungkin saja dapat dipahami tapi tidak sempurna karena ada keterbatasan intelektual manusia yang mana sudah memasukkan sedikit unsur subjektif (nilai-nilai moral). Yang mendefinisikan keadilan tidaklah mudah, karena setiap orang mempunyai pandangan yang berbeda untuk memahami suatu peristiwa hukum yang terjadi di dalam masyarakat. Pandangan-pandangan yang berbeda itu, seperti melihat bahwa  keadilan akan terlaksana bilamana hal-hal yang sama diperlakukan secara sama dan terhadap hal-hal yang tidak sama secara tidak sama (justice is done when equals are treated equally). Dalam kasus ini, jika seseorang yang berpandangan postpositivisme, akan mengatakan bahwa melakukan kejahatan sama dengan melanggar undang-undang, yang pada akhirnya sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku (pemerkosaan, KUHP), harus diterapkan sanksi pidana yang ada dalam pasal tersebut. Seperti dalam kasus pemerkosaan diatas, Pasal 285 KUHP, “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang perempuan bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.
Unsur dari pasal 285 itu adalah:
1.         barang siapa 
2.        dengan kekerasan 
3.        engan ancaman kekerasan
4.        memaksa 
5.        seorang wanita (diluar perkawinan)
6.        bersetubuh

1. Unsur ‘barang siapa’ (subjek tindak pidana) dalam KUHP memang tidak ada penjelasan yang expressis verbis. Namun kalau kita simak pasal 2, 44, 45, 46, 48, 49, 50 dan 51 KUHP dapat disimpulkan bahwa yang dimaksuk dengan ‘barang siapa’ adalah orang atau manusia.[10]
2. Unsur “Kekerasan” adalah kekuatan fisik atau perbuatan fisik yang menyebabkan orang lain secara fisik tidak berdaya tidak mampu melakukan perlawanan atau pembelaan. Wujud dari kekerasan dalam tindak pidana perkosaan antara lain bisa berupa perbuatan mendekap, mengikat, membius, menindih, memegang, melukai, dan lain sebagainya perbuatan fisik yang secara objektif dan fisik menyebabkan orang yang terkena tidak berdaya.[11]
3. Unsur ancaman kekerasan adalah serangan psikis yang menyebabkan orang menjadi ketakutan sehingga tidak mampu melakukan pembelaan atau perlawanan atau kekerasan yang belum diwujudkan tapi yang menyebabkan orang yang terkena tidak mempunyai pilihan selain mengikuti kehendak orang yang mengancam dengan kekerasan.[12]
4. Unsur “Memaksa” dalam perkosaan menenjukkan adanya pertentangan kehendak antara pelaku dengan korban, pelaku mau/ingin bersetubuh sementara korban tidak mau/ingin. karenanya tidak ada perkosaan apabila tidak ada pemaksaan dalam arti hubungan itu dilakukan atas dasar suka sama suka. Sebagaimana juga tidak aka nada kekerasan atau ancaman kekerasan bila tidak ada memaksa.[13]
5. Unsur bahwa yang dipaksa untuk bersetubuh adalah “wanita diluar perkawinan” atau tidak terikat perkawinan dengan pelaku. Dari adanya unsure ini dapat disimpulkan bahwa:[14]
a.      Perkosaan hanya terjadi oleh laki-laki terhadap wanita
b.      Tidak ada perkosaan untuk bersetubuh oleh wanita terhadap laki-laki, laki-laki
       terhadap laki-laki atau wanita terhadap wanita.
c.       Tidak ada perkosaan untuk bersetubuh bila dilakukan oleh laki-laki yang terikat
       perkawinan dengan wanita yang menjadi korban atau tidak ada perkosaan untuk
       bersetubuh oleh suami terhadap isteri yang kita kenal dengan marital rape (perkosaan
       yang dilakukan oleh suami terhadap isterinya)
6. Untuk selesainya tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh maka harus terjadi persetubuhan antara pelaku dengan korban, dalam arti tidak ada tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh mana kala tidak terjadi persetubuhan. Persetubuhan yakni masuknya penis laki-laki ke dalam kemaluan perempuan menjadi syarat utamanya.[15]
Melihat dari unsur unsur yang telah dijelaskan, perbuatan yang dilakukan oleh pelaku pemerkosaan pada kasus ini sudah memenuhi unsur unsur delik yang ada dalam pasal 285 KUHP. Dimana pemenuhan unsur unsur delik, adalah syarat agar suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana.
 Dalam postpositivisme, akan memasukkan sedikit moral itu, untuk mencapai keadilan komutatif yang bertujuan sebagai kesejahteraan dan ketertiban umum, karena moral adalah sesuatu nilai yang abstrak, yang digunakan orang berpandangan post postivisme untuk lebih melihat suatu peristiwa hukum lebih dalam, seperti melihat latar belakang dari pelaku, yang mendasari perbuatannya. Ini dilihat sebagai upaya untuk mencapai keadilan komutatif, namun keadilan sendiri adalah sangat abstrak. Permasalahannya adalah jika keadilan komutatif diterapkan di kasus ini, dengan melihat dari sisi pelaku, maka dari sisi korban akan harus ditentukan keadilannya juga. Hal ini akan menimbulkan bentrok dalam melihat sisi keadilan yang ingin dicapai. Maka dari itu, sering terjadi pada hakim yang berpandangan post positivisme, tetap memutuskan bersalah atau memberikan vonis, yang walaupun hakim melihat sisi lain atau lebih dalam dari pelaku, dan memasukkan sedikit moral untuk mencapai keadilan komutatif, tetapi lebih mengabaikannya, dikarenakan tekanan eksternal yang dialami untuk tetap menerapkan peraturan hukum yang ada. Maka jika dilihat lebih lanjut, post postivisme mempunyai perbedaan pandangan dengan konstruktivisme dalam menciptakan keadilan komutatif.
            Baik postpositivisme maupun konstruktivisme sama-sama memilikit tujuan untuk menciptakan keadilan komutatif yaitu keadilan yang bertujuan memelihara ketertiban masyarakat dan kesejahteraan umum. Namun, dalam mencapai keadilan komutatif tersebut kedua paradigma ini memiliki cara dan pandangannya masing-masing. Paradigma postpositivisme, dengan memasukkan sedikit nilai moral di dalam putusannya sedangkan paradigma konstruktivisme, dengan mencapai suatu kesepakatan. Artinya bahwa keadilan komutatif dicapai dengan kesepakatan para pihak. Hal ini sejalan dengan hakikat hukum yang ada pada paradigma konstruktivisme yaitu bentuk dan isi hukum berpulang atau sesuai dengan penganutnya.






BAB 3
PENUTUP
Kesimpulan
1. Mengenai ontology (hakikat hukum) berdasarkan paradigma konstruktivisme merupakan realitas majemuk dan beragam yang diamati seseorang berdasarkan pengalaman sosial-individu, lokal dan spesifik. Melihat bahwa hukum adalah suatu kenyataan yang banyak dan beragam berdasarkan konteks-konteksnya masing-masing. Ketika ada sepakat maka sudah ada hukum. Merupakan konstruksi mental atau intelektualitas manusia yang bentuk dan isi berpulang pada penganut serta murni subjektif. Dalam kasus diatas yang mana keluarga dari korban pemerkosaan memilih penyelesaian kasus tersebut melalui hukum adat yakni dengan mencapai suatu kesepakatan antar pihak, yang dilakukan dan disaksikan oleh kepala kampung dan warga. Penyelesaian melalui hukum adat dengan kesepakatan merupakan konstruktivisme. Sehingga hukum bagi masing-masing pihak adalah kesepakatan yang telah dibuat tersebut. Untuk Epistemologi nya adalah transaksional/subjektivis. Penganut/pemegang dan objek observasi/investigasi terkait secara interaktif, temuan di’cipta’/di’konstruksi’ bersama (kesepakatan/hukum merupakan hasil dari temuan yang dibuat secara bersama), fusi antara ontology dan epistemologi yaitu hukum dan penganutnya adalah satu. Dalam kasus di atas bahwa hukum merupakan kesepakatan yang berasal dari masing-masing pihak, hukum tidak merupakan undang-undang melainkan hasil yang dikonstruksikan oleh masing-masing mereka. Sedangkan Metodologi adalah hermeneutical/dialektikal. Konstruksi ditelusuri melalui interaksi antar dan sesama penganut/pemegang dan objek observasi/investigasi, dengan teknik hermeneutika dan pertukaran dialektikal ‘konstruksi’ tersebut di interpretasi, tujuan : destilasi ‘konstruksi’ konsensus atau ‘konstruksi’ resultante.
2.  Baik postpositivisme maupun konstruktivisme sama-sama memilikit tujuan untuk menciptakan keadilan komutatif yaitu keadilan yang bertujuan memelihara ketertiban masyarakat dan kesejahteraan umum. Paradigma postpositivisme, dengan memasukkan sedikit nilai moral di dalam putusannya sedangkan paradigma konstruktivisme, dengan mencapai suatu kesepakatan. Artinya bahwa keadilan komutatif dicapai dengan kesepakatan para pihak. Hal ini sejalan dengan hakikat hukum yang ada pada paradigma konstruktivisme yaitu bentuk dan isi hukum berpulang atau sesuai dengan penganutnya.
BAB 4
DAFTAR PUSTAKA

Ardianto, Elvinaro dan Bambang Q-Anees. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung:
                 Simbiosa Rekatama Media.
Arief, Barda Nawawi. 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
                 Hukum Pidana.  Bandung : Citra Aditya Bakti.
Gautama, Sudargo. 2001. “Penyelesaian Sengketa Secara Alternatif (ADR),” dalam
                 Hendarmin Djarab, et al, (Ed), Prospek dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia
                 Mengenang Alm. Prof. Dr. Komar Kantaatmadja, S.H., LL.M., Citra Aditya
                 Bakti, Bandung.
Parker, Herbert L. 1968. The Limits of Criminal Sanction.
Salman, Otje H. R dan F. Susanto. 2004. Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan dan
                 Membuka Kembali). Bandung : PT Refika Aditama.
Tamarasari, Desi, Januari 2012, “Pendekatan Hukum Adat Dalam Menyelesaikan Konflik
                  Masyarakat Pada Daerah Otonomi”. Jurnal Kriminologi Indonesia, Volume 2            
                   No I.
Tasrij,S.1986.Bunga Rampai Filsafat hukum, Abardin.
Wahid, Abdul. 2001. Perlindungan Terhdap Korban Kekerasan Seksual. Bandung : Refika
                  Aditama.




[1] Herbert L. Packer, The Limits of Criminal Sanction, 1968, hlm. 3.
[2] Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: Citra     
   Aditya Bakti, 1998, hlm. 39.
[3] Handout filsafat hukum.

[4] Tasrij,S.1986.Bunga Rampai Filsafat hukum:Abardin.
[5] Sudargo Gautama, “Penyelesaian Sengketa Secara Alternatif (ADR),” dalam Hendarmin Djarab, et al,
(Ed), Prospek dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia Mengenang Alm. Prof. Dr. Komar Kantaatmadja, S.H., LL.M., Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 124.
[6] Desi Tamarasari, “Pendekatan Hukum Adat Dalam Menyelesaikan Konflik Masyarakat Pada Daerah Otonomi”, Jurnal Kriminologi Indonesia, Volume 2 No I, Januari 2012.
[7] Handout filsafat hukum.
[8] Ardianto, Elvinaro dan Bambang Q-Anees, Filsafat Ilmu Komunikasi, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2007, hlm. 135.
[9] Ibid, hal 135.
[10]  Abdul Wahid, Perlindungan Terhdap Korban Kekerasan Seksual, Bandung: Refika Aditama, 2001, hal 109.
[11] Ibid, hal 109.
[12] Ibid, hal 109.
[13] Ibid, hal 112.
[14] Ibid hal 112
[15] Ibid hal 112.

No comments:

Post a Comment