BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Upaya penanggulangan kejahatan dengan
menggunakan sanksi (hukum) pidana merupakan cara yang paling tua, setua
peradaban manusia itu sendiri, bahkan ada yang mengatakan bahwa: “hukum pidana
merupakan the older philosophy of crime
control ”.[1] Sampai saat ini pun, hukum
pidana masih digunakan dan “diandalkan” sebagai salah satu sarana politik
kriminal.[2]
Hal tersebut dapat dilihat dari adanya ancaman pidana pada hampir setiap produk
perundang-undangan yang dikeluarkan oleh badan legislatif negara ini, meskipun
produk perundang-undangan tersebut tidak termasuk dalam perundang-undangan yang
tidak mengatur secara spesifik tentang suatu tindak pidana. Kondisi demikian
membawa konsekuensi terhadap Sistem Peradilan Pidana Indonesia dalam menangani tindak
kejahatan hampir seluruhnya selalu berakhir di penjara. Padahal penjara
bukanlah satu-satunya solusi terbaik dalam menyelesaikan tindak kejahatan,
khususnya tindak kejahatan dengan “kerusakan” yang ditimbulkannya masih bisa di
restorasi, sehingga kondisi yang telah “rusak” dapat dikembalikan ke keadaan
semula.
Pasal 1 ayat (3)
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 amandemen ke III
(tiga), menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas
hukum. Hal ini berarti bahwa Indonesia harus menjunjung tinggi hukum serta
dalam tindakannya harus didasarkan pada hukum atau peraturan yang diciptakan
untuk mengatur suatu tatanan di dalam pemerintahan, termasuk juga warga negaranya.
Indonesia
adalah negara kepulauan dengan aneka ragam suku bangsa dan budaya, juga
memiliki keanekaragaman hukum adat. Keanekaragaman hukum tersebut pada akhirnya
melahirkan perbedaan dari masing-masing daerah dalam hal penyelesaian konflik.
Masing-masing daerah mempunyai mekanisme penyelesaian konflik sendiri-sendiri. Penyelesaian konflik dalam
masyarakat di Indonesia didasari pada budaya untuk penyelesaian secara
musyawarah atau konsiliasi merupakan nilai yang paling banyak dianut masyarakat
di Indonesia. Berbagai suku bangsa Indonesia mempunyai budaya penyelesaian
konflik secara damai dengan suatu kesepakatan tertentu atau tanpa adanya
kesepakatan. Penyelesaian konflik secara musyawarah untuk secepat mungkin
diadakan perdamaian berkembang sebagai hukum adat. Hukum adat sebagai suatu
sistem hukum memiliki pola tersendiri dalam menyelesaikan sengketa.
Sehingga
dalam kehidupan bermasyarakat tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat beberapa
realitas-realitas hukum nyata yang harus diperhatikan. Hukum tidak hanya
berdasarkan pada peraturan peraturan yang ada. Hukum tidak hanya diselesaikan
berdasarkan dengan KUHAP, yang memuat berbagai hal mengenai proses penyidikan,
penyelidikan, penuntutan, hingga sampai ke proses persidangan. Terdapat jalan
lain di dalam menyelesaikan proses perkara hukum, salah satu contohnya adalah
mediasi secara hukum adat. Tidak dapat dipungkiri juga bahwa, hukum di
Indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, selain hukum positif itu
sendiri. Terdapat berbagai tingkatan dan susunan sosial di dalamnya. Tingkatan
tingkatan tersebut berkaitan erat dengan realitas yang ada di dalam masyarakat,
yaitu realitas majemuk dan beragam. Realitas ini adalah salah satu dari set basic belief dalam paradigma
konstruktivisme.
Paradigma
konstruktivisme ialah paradigma dimana kebenaran suatu realitas sosial dilihat
sebagai hasil konstruksi sosial, dan kebenaran suatu realitas sosial bersifat
relatif. Paradigma konstruktivisme ini berada dalam perspektif interpretivisme
(penafsiran) yang terbagi dalam tiga jenis, yaitu interaksi simbolik,
fenomenologis dan hermeneutik. Paradigma konstruktivisme dalam ilmu sosial
merupakan kritik terhadap paradigma positivis. Menurut paradigma konstruktivisme
realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat digeneralisasikan pada
semua orang, seperti yang biasa dilakukan oleh kaum positivis.
Paradigma
konstruktivisme belum tentu hukum adat, namun hukum adat sudah pasti
konstruktivisme. Yaitu, melihat bahwa tidak semua hukum adat adalah konstruktivisme,
contohnya mengenai hal hal berkaitan dengan adat istiadat/tata cara berperilaku
di dalam masyarakat adat. Namun, penyelesaian kasus hukum dengan jalan hukum
adat adalah konstruktivisme. Hal ini dilihat bahwa paradigma konstruktivisme
sangat dipengaruhi oleh kesepakatan, yang mengutamakan dialog antara subjek
subjek hukum yang terlibat. Karena dengan adanya kesepakatan, itu sudah
merupakan suatu hukum. Tertulis atau tidak, itu hanya sebagai suatu formalitas
belaka, jika sudah ada kesepakatan antar pihak di dalamnya.
Penyelesaian
kasus pemerkosaan yang terjadi di Nabire Papua yang diselesaikan dengan hukum
adat. Yang mana keluarga korban pemerkosaan memilih menyelesaikan masalah
tersebut dengan hukum adat. Keluarga korban meminta pelaku untuk membayar denda
sebesar Rp 150 juta dengan jaminan, warga menahan delapan wanita dari pihak
keluarga pelaku.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana
kasus pemerkosaan yang terjadi di Nabire, Papua tersebut dilihat dari
pandangan Paradigma Konstruktivisme
(lengkap dengan set basic belief ontologi,
epistemologi dan metodologinya) ?
2.
Jika
di dalam paradigma postpositivisme memasukkan sedikit moral untuk mencapai
keadilan komutatif kemudian apa bedanya
dengan paradigma konstruktivisme yang juga ingin mencapai keadilan komutatif?
C. TUJUAN
1.
Untuk mengetahui
pandangan Paradigma Konstruktivisme terhadap kasus pemerkosaan yang terjadi di
Nabire, Papua.
2.
Untuk mengetahui
bagaimana Paradigma Pospositivisme dan Kostruktivisme mencapai keadilan
komutatif.
BAB 2
PEMBAHASAN
1.
Paradigma Konstruktivisme dengan Set Basic Belief Ontologi,
Epistemologi Dan Metodologinya dalam Menjelaskan Kasus Pemerkosaan Di Nabire,
Papua
KASUS
Kasus Perkosaan di Nabire Papua
Diselesaikan dengan Hukum Adat
Rabu, 06 February 2013| 06.02 WIB
Nabire - Satu dari sepuluh pelaku
pemerkosaan gadis berusia 13 tahun di Distrik Uwapa, Nabire, Papua, ditangkap
warga di jalan, Selasa (5/2). Saat ditangkap, pelaku sedang menumpang kendaraan
umum, dalam perjalanan melewati Kampung Gerbang Sadu Wadio menuju Nabire.
Yosep Mote pun digiring warga ke rumah kepala kampung. Ia diminta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya bersama sembilan rekannya yang lain.
Di hadapan kepala kampung dan warga, Yosep mengakui perbuatannya. Namun Yosep mengaku tidak mengetahui keberadaan sembilan rekannya.
Keluarga korban memilih menyelesaikan masalah tersebut dengan hukum adat. Keluarga korban meminta pelaku membayar denda sebesar Rp150 juta. Sebagai jaminan, warga menahan delapan wanita dari pihak keluarga pelaku.
Menanggapi keputusan tersebut, Polsek Nabire Barat memutuskan menghormati cara penyelesaian melalui adat yang disepakati pihak yang terlibat. Walaupun persoalan ini telah di sepakati untuk menyelesaikan dengan hukum adat, tetapi kota nabire masih terlihat mencekam.
Yosep Mote pun digiring warga ke rumah kepala kampung. Ia diminta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya bersama sembilan rekannya yang lain.
Di hadapan kepala kampung dan warga, Yosep mengakui perbuatannya. Namun Yosep mengaku tidak mengetahui keberadaan sembilan rekannya.
Keluarga korban memilih menyelesaikan masalah tersebut dengan hukum adat. Keluarga korban meminta pelaku membayar denda sebesar Rp150 juta. Sebagai jaminan, warga menahan delapan wanita dari pihak keluarga pelaku.
Menanggapi keputusan tersebut, Polsek Nabire Barat memutuskan menghormati cara penyelesaian melalui adat yang disepakati pihak yang terlibat. Walaupun persoalan ini telah di sepakati untuk menyelesaikan dengan hukum adat, tetapi kota nabire masih terlihat mencekam.
Sumber
Artikel: Rasudo FM News
Dalam
penyelesaian suatu sengketa, yang memberikan/menciptakan keadilan bagi
masing-masing pihak, tidak lepas dari
sebuah kenyakinan paradigma. Menurut Guba dan Lincon (dalam buku Denzin dan
Lincoln: Handbook of Qualitative
Reasearch) memaknakan paradigma sebagai suatu sistem filosofis payung/utama
yang melingkupi atau terbangun oleh ontology, epistemology, dan metodologi
tertentu yang tidak begitu saya dapat dipertukarkan antara paradigma yang satu
dengan paradigma yang lainnya, serta yang merepresentasikan beliefs system dasar yang merekatkan si
penganut/pemegang paradigma pada worldview
tertentu.[3]
Sehingga setiap keadilan yang diciptakan atau diyakini oleh setiap orang akan
sangat berbeda satu sama lain karena masing-masing atau secara bersama-sama
melandaskan/dilandaskan pada suatu paradigma yang mereka yakini. Hal ini
dikaitkan dengan paradigma apa yang digunakan sebagai pemandu bagi mereka dalam
menyelesaikan/melihat suatu kasus untuk menafsirkannya. Dengan demikian,
jelaslah bahwa ukuran keadilan dan apa yang dimaksud keadilan itu adalah
berbeda antar setiap orang. Pendapat
mengenai hukum itu berbeda untuk setiap orang, karena perbedaan paradigma yang
diyakini berbeda.
Mengenai ontology (hakikat hukum)
berdasarkan paradigma konstruktivisme merupakan realitas majemuk dan beragam
yang diamati seseorang berdasarkan pengalaman sosial-individu, lokal dan
spesifik. Melihat bahwa hukum adalah suatu kenyataan yang banyak dan beragam
berdasarkan konteks-konteksnya masing-masing. Ketika ada sepakat maka sudah ada
hukum. Merupakan konstruksi mental atau intelektualitas manusia yang bentuk dan
isi berpulang pada penganut serta murni subjektif.
Paradigma
konstruktivisme belum tentu hukum adat, namun hukum adat sudah pasti
konstruktivisme. Yaitu, melihat bahwa tidak semua hukum adat adalah
konstruktivisme, contohnya mengenai hal-hal berkaitan dengan adat istiadat/tata
cara berperilaku di dalam masyarakat adat. Namun, penyelesaian kasus hukum
dengan jalan hukum adat adalah konstruktivisme. Hal ini dilihat bahwa paradigma
konstruktivisme sangat dipengaruhi oleh kesepakatan, yang mengutamakan dialog
antara subjek-subjek hukum yang terlibat. Karena dengan adanya kesepakatan, itu
sudah merupakan suatu hukum. Tertulis atau tidak, itu hanya sebagai suatu
formalitas belaka, jika sudah ada kesepakatan antar pihak di dalamnya.
Paradigma konstruktivisme
yang ditelusuri dari pemikiran Weber, menilai perilaku manusia secara
fundamental berbeda dengan perilaku alam, karena manusia bertindak sebagai
agen yang mengkonstruksi dalam realitas sosial mereka, baik itu melalui
pemberian makna ataupun pemahaman perilaku dikalangan mereka sendiri.[4] Kajian
pokok dalam paradigma konstruktivisme menurut Weber, menerangkan bahwa
substansi bentuk kehidupan di masyarakat tidak hanya dilihat dari
penilaian objektif saja, melainkan dilihat dari tindakan perorangan yang timbul
dari alasan-alasan subjektif. Weber juga melihat bahwa tiap individu akan
memberikan pengaruh dalam masyarakatnya tetapi dengan beberapa catatan,
dimana tindakan sosial yang dilakukan oleh individu tersebut harus
berhubungan dengan rasionalitas dan tindakan sosial harus dipelajari
melalui penafsiran serta pemahaman. Paradigma konstruktivisme merupakan
respon terhadap paradigma positivisme dan memiliki sifat yang sama dengan
positivis, dimana yang membedakan keduanya adalah objek kajiannya sebagai
start-awal dalam memandang realitas sosial. Positivis berangkat dari
sistem dan struktur sosial, sedangkan konstruktivisme berangkat dari
subjek yang bermakna dan memberikan makna dalam realitas tersebut.
Paradigma konstruktivisme adalah dapat ditelusuri dari pemikiran Weber yang
menjadi ciri khas bahwa prilaku manusia secara fundamental berbeda dengan
prilaku alam. Manusia bertindak sebagai agen dalam bertindak mengkunstuksi
realias sosial. Cara konstruksi yang dilakukan kepada cara memahami atau
memberikan makna terhadap prilaku mereka sendiri. Weber melihat bahwa individu
yang memberikan pengaruh pada masyarakat tetapi dengan beberapa catatan, bahwa
tindakan sosial individu berhubungan dengan rasionalitas. Tindakan sosial yang
dimaksudkan oleh Weber berupa tindakan yang nyata-nyata diarahkan kepada
orang lain. Juga dapat berupa tindakan yang bersifat “membatin”, atau bersifat
subjektif yang mengklaim terjadi karena pengaruh positif dari situasi
tertentu.Implikasi dalam paradigma konstruktivisme menerangkan bahwapengetahuan
itu tidak lepas dari subjek yang sedang mencoba belajar untuk mengerti.
Hukum
adat memiliki karakter yang khas dan unik bila dibandingkan dengan sistem hukum
lain. Hukum adat lahir dan tumbuh dari masyarakat, sehingga keberadaannya
bersenyawa dan tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Penyelesaian-penyelesaian
konflik yang dilakukan melalui mekanisme hukum adat baik untuk perkara perdata
maupun perkara pidana. Berbeda dengan hukum pidana barat, tujuan hukum pidana
adat adalah memulihkan keseimbangan hukum yang menjadi tujuan segala reaksi
atau koreksi adat sedangkan tujuan untuk memperbaiki orang yang salah, orang
yang melanggar hukum, sebagai salah satu dasar yang terdapat pada sistem hukum
pidana barat, tidak terdapat pada sistem hukum adat.[5]
Kemajemukan masyarakat Indonesia,
perbedaan yang ada, konflik yang mungkin dapat timbul, tidak selamanya dapat
diselesaikan dengan menggunakan hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah
pusat yang menggunakan prinsip keseragaman : menganggap bahwa masyarakat yang satu
sama dengan masyarakat yang lain.[6]
Hasil dari penerapan sentralisasi selama ini adalah ketidakpuasan baik dari masyarakat,
maupun pihak-pihak yang bertikai (dalam hal ini pelaku dan korban). Adalah
kenyataan sesunguhnya bahwa hukum nasional/hukum positif belum tentu dapat
menjamin keadilan yang diinginkan semua pihak, dan belum tentu bisa memulihkan
kondisi masyarakat yang rusak akibat konflik tersebut. Hukum nasional/hukum
positif hanya berpedoman bagaimana melindungi masyarakat, tanpa melihat apakah kepentingan
masyarakat dan pihak-pihak yang bertikai telah dilindungi. Bagi masyarakat ditiap-tiap
daerah yang masih berpegang pada aturan-aturan adat, penyelesaian konflik
dengan menggunakan hukum adat dirasakan lebih menjamin keadilan dan lebih
memiliki kekuatan nilai dibandingkan hukum nasional yang cenderung kurang
berpihak. Hal ini disebabkan karena hukum adat merupakan kesepakatan bersama
dari masyarakat setempat yang telah mempertimbangkan kepentingan-kepentingan
masyarakat, individu, maupun pihak yang bertikai.
Dalam kasus diatas yang mana keluarga
dari korban pemerkosaan memilih penyelesaian kasus tersebut melalui hukum adat
yakni dengan mencapai suatu kesepakatan antar pihak, yang dilakukan dan
disaksikan oleh kepala kampung dan warga. Kesepakatan tersebut yaitu dengan
pembayaran denda oleh pelaku sebesar Rp 150 juta. Penyelesaian melalui hukum
adat dengan kesepakatan merupakan konstruktivisme. Sehingga hukum bagi
masing-masing pihak adalah kesepakatan yang telah dibuat tersebut.
Untuk Epistemologi nya adalah transaksional/subjektivis. Penganut/pemegang
dan objek observasi/investigasi terkait secara interaktif, temuan
di’cipta’/di’konstruksi’ bersama (kesepakatan/hukum merupakan hasil dari temuan
yang dibuat secara bersama), fusi antara ontology dan epistemologi yaitu hukum
dan penganutnya adalah satu. Dalam kasus di atas bahwa hukum merupakan
kesepakatan yang berasal dari masing-masing pihak, hukum tidak merupakan
undang-undang melainkan hasil yang dikonstruksikan oleh masing-masing mereka.
Sedangkan Metodologi adalah
hermeneutical/dialektikal. Konstruksi ditelusuri melalui interaksi antar dan sesama
penganut/pemegang dan objek observasi/investigasi, dengan teknik hermeneutika
dan pertukaran dialektikal ‘konstruksi’ tersebut di interpretasi, tujuan :
destilasi ‘konstruksi’ konsensus atau ‘konstruksi’ resultante.[7]
Paradigma
konstruktivisme memayungi aliran interaksionisme simbolik dan legal
konstuktivisme.
Interaksionisme
Simbolik
Interaksi simbolik pada awalnya merupakan
suatu gerakan pemikiran dalam ilmu sosiologi yang dibangun oleh George Herbert
Mead. Mead yang dikenal sebagai bapak Teori Interaksionisme Simbolik ini
menekankan sebuah pemahaman dunia sosial berdasarkan pentingnya makna yang
diproduksi dan diinterpretasikan melalui simbol-simbol dalam interaksi sosial.[8] Para
pemikir dalam tradisi teori interaksionisme simbolik dibagi menjadi dua aliran,
yaitu aliran Iowa dan Chicago. Aliran Iowa meskipun mengacu pada prinsip-prinsip
dasar pemikiran teori interaksionisme simbolik, kalangan pemikir aliran Iowa
banyak yang menganut tradisi epistemologi dan metodologi post-positivis.
Sedangkan Aliran Chicago banyak melakukan pendekatan interpretif berdasarkan
rintisan pemikiran George Herbert Mead. George Herbert Mead mengemukakan bahwa
makna muncul sebagai hasil interaksi diantara manusia, baik secara verbal
maupun nonverbal. Melalui aksi dan respons yang terjadi, kita memberikan makna
ke dalam kata-kata atau tindakan, dan karenanya kita dapat memahami suatu
peristiwa dengan caracara tertentu. Dalam deskripsi Mead, proses “pengambilan
peran” menduduki tempat yang penting. Interaksi berarti bahwa para peserta
masing-masing memindahkan diri mereka secara mental ke dalam posisi orang lain.
Dengan berbuat demikian, mereka mencoba mencari maksud dari aksi yang diberikan
oleh pihak lain, sehingga komunikasi dan interaksi dimungkinkan. Jadi interaksi
tidak hanya berlangsung melalui gerak-gerak saja, melainkan terutama melalui
simbol-simbol yang perlu dipahami dan dimengerti maknanya. Artinya, geraklah
yang menentukan. Dalam interaksi simbolik, orang mengartikan dan menafsirkan gerak-gerak
orang lain dan bertindak sesuai dengan arti itu.
Interaksi
simbolik mendasarkan gagasannya atas enam hal berikut ini :[9]
a. Manusia
membuat keputusan dan bertindak pada situasi yang dihadapinya sesuai dengan
pengertian subjektifnya.
b. Kehidupan
sosial merupakan proses interaksi, kehidupan sosial bukanlah struktur atau
bersifat struktural dan karena itu akan
terus berubah.
c. Manusia
memahami pengalamannua melalui makna dari simbol yang digunakan di
lingkungan terdekatnya (primary group), dan
bahasa merupakan bagian yang sangat
penting dalam kehidupan sosial.
d. Dunia terdiri
atas berbagai objek sosial yang memiliki nama dan makna yang ditentukan
secara sosial.
e. Manusia mendasarkan
tindakannya atas interpretasi mereka, dengan mempertimbangkan
dan mendefenisikan objek-objek dan tindakan
yang relevan pada situasi saat itu.
f. Diri
seseorang adalah objek signifikan dan sebagaimana objek sosial lainnya, diri
didefenisikan melalui interaksi sosial
dengan orang lain.
Yang
mana bahwa pemahaman hukumnya adalah hukum sebagai interaksi dan perbuatan
masyarakat, hukum sebagai interpretasi atau proses dari interpretasi yang ciri
hukum nya yaitu makna-makna simbolih hasil interpretasi sebagaimana dalam dan
dari aksi seta interaksi masyarakat. Sehingga kesepakatan saja sudah termasuk
hukum dan hukum tertulis merupakan konsensus lanjutan.
Konstruktivisme legal
Pemahaman hukum menurut konstruktivisme legal adalah
hukum sebagai kesepakatan baik tertulis maupun tidak, hukum sebagai konstruksi
mental dan hukum itu sebagai hasil dari pengalaman dalam kenyataan. Ciri hukum
dalam aliran ini adalah (1) konstruksi mental yang bersifat relative, majemuk,
beragam, intangible, lokal dan
spesifik serta berbasis sosial/ eksperiential, (2) rekonstruksi/perubahan
terjadi berkesinambungan sejalan dengan pengayaan informasi dan
sofistikasi/pencanggihan atau oleh cipta rasa, (3) yang ada, setiap saat,
adalah konsesus atau kesepakatan relative berkenaan dengan konstruksi tersebut
sesuai dengan konsteks ruang dan waktu.
2. Keadilan Komutatif dalam
Pandangan Paradigma Postpositivisme dan Pandangan Paradigma Konstruktivisme
Keadilan menurut
Aristoteles seorang filosof asal yunani adalah kelayakan dalam tindakan
manusia. Kelayakan diartikan sebagai titik tengah antara kedua ujung ekstrem
yang terlalu banyak dan terlalu sedikit. Kedua ujung ekstrem ini menyangkut dua
orang atau benda. Bila kedua orang tersebut mempunyai kesamaan dalam ukuran
yang telah ditetapkan, maka masing-masing orang harus memperoleh benda atau
hasil yang sama, kalau tidak sama, maka masing – masing orang akan menerima
bagian yang tidak sama, sedangkan pelangggaran terjadap proporsi tersebut
disebut tidak adil. Keadilan komutatif merupakan keadilan yang bertujuan memelihara ketertiban masyarakat dan
kesejahteraan umum. Bagi Aristoteles pengertian keadilan itu merupakan asas
pertalian dan ketertiban dalam rnasyarakat semua tindakan yang bercorak ujung
ekstrim menjadikan ketidakadilan dan akan merusak atau bahkan menghancurkan
pertalian dalam masyarakat.
Di dalam pandangan postpositivisme yang berdasarkan basic belief realisme kritis yaitu tidak
melihat kenyataan itu apa adanya tapi mulai melihat kenyataan yang ada. Hukum
pada hakikatnya adalah undang-undang yakni berbentuk, objektif dan nyata yang
mungkin saja dapat dipahami tapi tidak sempurna karena ada keterbatasan
intelektual manusia yang mana sudah memasukkan sedikit unsur subjektif
(nilai-nilai moral). Yang mendefinisikan keadilan tidaklah mudah, karena setiap
orang mempunyai pandangan yang berbeda untuk memahami suatu peristiwa hukum
yang terjadi di dalam masyarakat. Pandangan-pandangan yang berbeda itu, seperti
melihat bahwa keadilan akan
terlaksana bilamana hal-hal yang sama diperlakukan secara sama dan terhadap
hal-hal yang tidak sama secara tidak sama (justice is done when equals are
treated equally). Dalam kasus ini, jika seseorang yang berpandangan postpositivisme,
akan mengatakan bahwa melakukan kejahatan sama dengan melanggar undang-undang,
yang pada akhirnya sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku (pemerkosaan,
KUHP), harus diterapkan sanksi pidana yang ada dalam pasal tersebut. Seperti dalam
kasus pemerkosaan diatas, Pasal 285 KUHP,
“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang perempuan bersetubuh
dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun”.
Unsur dari pasal 285 itu adalah:
1.
barang siapa
2.
dengan kekerasan
3.
engan ancaman kekerasan
4.
memaksa
5.
seorang wanita (diluar perkawinan)
6.
bersetubuh
1. Unsur ‘barang siapa’ (subjek tindak pidana) dalam KUHP
memang tidak ada penjelasan yang expressis
verbis. Namun kalau kita simak pasal 2, 44, 45, 46, 48, 49, 50 dan 51 KUHP
dapat disimpulkan bahwa yang dimaksuk dengan ‘barang siapa’ adalah orang atau
manusia.[10]
2. Unsur “Kekerasan” adalah kekuatan
fisik atau perbuatan fisik yang menyebabkan orang lain secara fisik tidak
berdaya tidak mampu melakukan perlawanan atau pembelaan. Wujud dari kekerasan
dalam tindak pidana perkosaan antara lain bisa berupa perbuatan mendekap,
mengikat, membius, menindih, memegang, melukai, dan lain sebagainya perbuatan
fisik yang secara objektif dan fisik menyebabkan orang yang terkena tidak
berdaya.[11]
3. Unsur ancaman kekerasan adalah
serangan psikis yang menyebabkan orang menjadi ketakutan sehingga tidak mampu
melakukan pembelaan atau perlawanan atau kekerasan yang belum diwujudkan tapi
yang menyebabkan orang yang terkena tidak mempunyai pilihan selain mengikuti
kehendak orang yang mengancam dengan kekerasan.[12]
4. Unsur “Memaksa” dalam perkosaan
menenjukkan adanya pertentangan kehendak antara pelaku dengan korban, pelaku
mau/ingin bersetubuh sementara korban tidak mau/ingin. karenanya tidak ada
perkosaan apabila tidak ada pemaksaan dalam arti hubungan itu dilakukan atas
dasar suka sama suka. Sebagaimana juga tidak aka nada kekerasan atau ancaman
kekerasan bila tidak ada memaksa.[13]
5. Unsur bahwa yang dipaksa untuk
bersetubuh adalah “wanita diluar perkawinan” atau tidak terikat perkawinan
dengan pelaku. Dari adanya unsure ini dapat disimpulkan bahwa:[14]
a. Perkosaan hanya terjadi oleh
laki-laki terhadap wanita
b. Tidak ada perkosaan untuk bersetubuh
oleh wanita terhadap laki-laki, laki-laki
terhadap laki-laki atau wanita terhadap
wanita.
c. Tidak ada perkosaan untuk bersetubuh
bila dilakukan oleh laki-laki yang terikat
perkawinan dengan wanita yang menjadi
korban atau tidak ada perkosaan untuk
bersetubuh oleh suami terhadap isteri
yang kita kenal dengan marital rape (perkosaan
yang dilakukan oleh suami terhadap
isterinya)
6. Untuk selesainya tindak pidana
perkosaan untuk bersetubuh maka harus terjadi persetubuhan antara pelaku dengan
korban, dalam arti tidak ada tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh mana kala
tidak terjadi persetubuhan. Persetubuhan yakni masuknya penis laki-laki ke
dalam kemaluan perempuan menjadi syarat utamanya.[15]
Melihat
dari unsur unsur yang telah dijelaskan, perbuatan yang dilakukan oleh pelaku
pemerkosaan pada kasus ini sudah memenuhi unsur unsur delik yang ada dalam
pasal 285 KUHP. Dimana pemenuhan unsur unsur delik, adalah syarat agar suatu
perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana.
Dalam postpositivisme, akan memasukkan sedikit
moral itu, untuk mencapai keadilan komutatif yang bertujuan sebagai
kesejahteraan dan ketertiban umum, karena moral adalah sesuatu nilai yang
abstrak, yang digunakan orang berpandangan post postivisme untuk lebih melihat
suatu peristiwa hukum lebih dalam, seperti melihat latar belakang dari pelaku,
yang mendasari perbuatannya. Ini dilihat sebagai upaya untuk mencapai keadilan
komutatif, namun keadilan sendiri adalah sangat abstrak. Permasalahannya adalah
jika keadilan komutatif diterapkan di kasus ini, dengan melihat dari sisi
pelaku, maka dari sisi korban akan harus ditentukan keadilannya juga. Hal ini
akan menimbulkan bentrok dalam melihat sisi keadilan yang ingin dicapai. Maka
dari itu, sering terjadi pada hakim yang berpandangan post positivisme, tetap
memutuskan bersalah atau memberikan vonis, yang walaupun hakim melihat sisi
lain atau lebih dalam dari pelaku, dan memasukkan sedikit moral untuk mencapai
keadilan komutatif, tetapi lebih mengabaikannya, dikarenakan tekanan eksternal
yang dialami untuk tetap menerapkan peraturan hukum yang ada. Maka jika dilihat
lebih lanjut, post postivisme mempunyai perbedaan pandangan dengan
konstruktivisme dalam menciptakan keadilan komutatif.
Baik postpositivisme maupun
konstruktivisme sama-sama memilikit tujuan untuk menciptakan keadilan komutatif
yaitu keadilan yang bertujuan memelihara ketertiban masyarakat dan
kesejahteraan umum. Namun, dalam mencapai keadilan komutatif tersebut kedua
paradigma ini memiliki cara dan pandangannya masing-masing. Paradigma
postpositivisme, dengan memasukkan sedikit nilai moral di dalam putusannya
sedangkan paradigma konstruktivisme, dengan mencapai suatu kesepakatan. Artinya
bahwa keadilan komutatif dicapai dengan kesepakatan para pihak. Hal ini sejalan
dengan hakikat hukum yang ada pada paradigma konstruktivisme yaitu bentuk dan
isi hukum berpulang atau sesuai dengan penganutnya.
BAB 3
PENUTUP
Kesimpulan
1. Mengenai ontology (hakikat hukum)
berdasarkan paradigma konstruktivisme merupakan realitas majemuk dan beragam
yang diamati seseorang berdasarkan pengalaman sosial-individu, lokal dan
spesifik. Melihat bahwa hukum adalah suatu kenyataan yang banyak dan beragam
berdasarkan konteks-konteksnya masing-masing. Ketika ada sepakat maka sudah ada
hukum. Merupakan konstruksi mental atau intelektualitas manusia yang bentuk dan
isi berpulang pada penganut serta murni subjektif. Dalam kasus diatas yang mana keluarga dari korban
pemerkosaan memilih penyelesaian kasus tersebut melalui hukum adat yakni dengan
mencapai suatu kesepakatan antar pihak, yang dilakukan dan disaksikan oleh
kepala kampung dan warga. Penyelesaian melalui hukum adat dengan kesepakatan
merupakan konstruktivisme. Sehingga hukum bagi masing-masing pihak adalah
kesepakatan yang telah dibuat tersebut. Untuk Epistemologi nya adalah
transaksional/subjektivis. Penganut/pemegang dan objek observasi/investigasi
terkait secara interaktif, temuan di’cipta’/di’konstruksi’ bersama
(kesepakatan/hukum merupakan hasil dari temuan yang dibuat secara bersama),
fusi antara ontology dan epistemologi yaitu hukum dan penganutnya adalah satu.
Dalam kasus di atas bahwa hukum merupakan kesepakatan yang berasal dari
masing-masing pihak, hukum tidak merupakan undang-undang melainkan hasil yang
dikonstruksikan oleh masing-masing mereka. Sedangkan Metodologi adalah
hermeneutical/dialektikal. Konstruksi ditelusuri melalui interaksi antar dan
sesama penganut/pemegang dan objek observasi/investigasi, dengan teknik
hermeneutika dan pertukaran dialektikal ‘konstruksi’ tersebut di interpretasi,
tujuan : destilasi ‘konstruksi’ konsensus atau ‘konstruksi’ resultante.
2.
Baik postpositivisme maupun
konstruktivisme sama-sama memilikit tujuan untuk menciptakan keadilan komutatif
yaitu keadilan yang bertujuan memelihara ketertiban masyarakat dan
kesejahteraan umum. Paradigma postpositivisme, dengan memasukkan sedikit nilai
moral di dalam putusannya sedangkan paradigma konstruktivisme, dengan mencapai
suatu kesepakatan. Artinya bahwa keadilan komutatif dicapai dengan kesepakatan
para pihak. Hal ini sejalan dengan hakikat hukum yang ada pada paradigma
konstruktivisme yaitu bentuk dan isi hukum berpulang atau sesuai dengan
penganutnya.
BAB 4
DAFTAR PUSTAKA
Ardianto,
Elvinaro dan Bambang Q-Anees. 2007. Filsafat
Ilmu Komunikasi. Bandung:
Simbiosa Rekatama Media.
Arief,
Barda Nawawi. 1998. Beberapa Aspek
Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana. Bandung : Citra Aditya Bakti.
Gautama, Sudargo. 2001.
“Penyelesaian Sengketa Secara Alternatif
(ADR),” dalam
Hendarmin Djarab, et al, (Ed), Prospek dan
Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia
Mengenang Alm. Prof. Dr. Komar Kantaatmadja,
S.H., LL.M., Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Parker,
Herbert L. 1968. The Limits of Criminal
Sanction.
Salman, Otje H. R dan F. Susanto.
2004. Teori Hukum (Mengingat,
Mengumpulkan dan
Membuka Kembali). Bandung : PT Refika Aditama.
Tamarasari, Desi,
Januari 2012, “Pendekatan Hukum Adat Dalam Menyelesaikan Konflik
Masyarakat Pada Daerah Otonomi”. Jurnal
Kriminologi Indonesia, Volume 2
No I.
Tasrij,S.1986.Bunga
Rampai Filsafat hukum, Abardin.
Wahid,
Abdul. 2001. Perlindungan Terhdap Korban
Kekerasan Seksual. Bandung : Refika
Aditama.
[1] Herbert L. Packer, The Limits of Criminal Sanction, 1968, hlm. 3.
[2] Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana,
Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1998, hlm. 39.
[3] Handout
filsafat hukum.
[5]
Sudargo Gautama, “Penyelesaian Sengketa Secara Alternatif (ADR),” dalam
Hendarmin Djarab, et al,
(Ed), Prospek dan Pelaksanaan Arbitrase
di Indonesia Mengenang Alm. Prof. Dr. Komar Kantaatmadja, S.H., LL.M., Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 124.
[6] Desi
Tamarasari, “Pendekatan Hukum Adat Dalam Menyelesaikan Konflik Masyarakat Pada
Daerah Otonomi”, Jurnal Kriminologi Indonesia, Volume 2 No I, Januari 2012.
[7] Handout
filsafat hukum.
[8]
Ardianto, Elvinaro dan Bambang Q-Anees, Filsafat
Ilmu Komunikasi, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2007, hlm. 135.
[10] Abdul Wahid, Perlindungan Terhdap Korban Kekerasan Seksual, Bandung: Refika
Aditama, 2001, hal 109.
[12]
Ibid, hal 109.
[13]
Ibid, hal 112.
[14]
Ibid hal 112
No comments:
Post a Comment