Wednesday, June 17, 2015

TANGGUNG JAWAB KOMANDO TERHADAP PELANGGARAN HAM BERAT (KASUS: PELANGGARAN HAM YANG BERAT DI TIMOR TIMUR)

I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
            Persoalan mengenai hak asasi manusia sebenarnya bukanlah sesuatu persoalan yang baru muncul. Namun demikian hal tersebut masih tetap aktual dan selalu berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, terlebih lagi masih banyak aspek yang perlu dikaji seiring dengan munculnya berbagai persoalan kemanusiaan terkait dengan hak asasi manusia, baik di tingkat nasional maupun tingkat internasional. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang selanjutnya disebut Undang-Undang Pengadilan HAM, Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
            Disamping peraturan perundangan tersebut diatas, juga yang merupakan delik khusus adalah pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) sebagaimana diatur dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM. Dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia, terutama setelah peristiwa Timor Timur, permasalahan pelanggaran HAM banyak dibahas oleh para ahli. Selanjutnya dengan mengacu kepada UU nomor 39 tahun 1999 dan UU nomor 26 tahun 2000 (Pengadilan HAM), maka dikenal dua bentuk pelanggaran HAM, yaitu palanggaran HAM biasa dan pelanggaran HAM berat. Dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, pengertian Pelanggaran HAM terdapat dalam Pasal 1 butir 6 dan pengertian Pelanggaran HAM Berat terdapat dalam penjelasan UU No. 39 tahun 1999 yaitu dalam Pasal 104 ayat 1.
            Di dalam penjelasan UU No. 39 Tahun 1999 mengenai pengertian pelanggaran HAM berat diuraikan dalam Pasal 104 ayat 1 menyatakan :
Pelanggaran HAM yang berat adalah pembunuhan massal (genoside), pembunuhan sewenang-wenang atau diluar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, deskriminasi yang dilakukan secara sistematis4 (systematic descrimination).

Pasal 104 ayat (1) dari UU nomor 39 tahun 1999 ini, berbeda dengan pengertian pelanggaran HAM berat yang dimaksud dalam UU nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dalam UU tersebut dijelaskan pelanggaran HAM berat meliputi; genoside dan kejahatan terhadap kemanusiaana (Pasal 7).
Pelanggaran HAM berat kemudian semakin mengemuka setelah adanya Pengadilan HAM Ad Hoc Timor Timur dan Tanjung Priok. Pengadilan HAM Ad Hoc ini dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden nomor 53 tahun 2001 yang kemudian disempurnakan dengan Keppres nomor 96 tahun 2001. Sebagaimana diketahui bahwa berdasarkan UU nomor 26 tahun 2000 ada dua bentuk Pengadilan HAM, yaitu Pengadilan HAM permanen (biasa) dan Pengadilan HAM Ad Hoc. Keduanya berada dibawah lingkungan Peradilan Umum. Kasus-kasus yang diperiksa dalam Pengadilan HAM Ad Hoc Timor Timur dan Tanjung Priok umumnya adalah kejahatan yang disebut dengan pelanggaran HAM yang berat. Terdakwa yang diadili antara lain Mayjend. TNI Adam Damiri (Panglima KODAM IX/Udayana yang juga membawahi Timor Timur pada waktu itu), Brijend TNI Noer Muis (yang pada waktu itu menjabat sebagai Danrem di Timtim), Brigjend (Pol) Timbul Silaen (yang pada waktu itu menjabat sebagai KAPOLDA Timor Timur) Gubernur Timor Timur Abilio Soares dan Eurico Guterres (Pimpinan Pasukan Milisi pro-Indonesia). Sedangkan dalam peristiwa Tanjung Priok yang diadili aatara lain Mayjend TNI Sriyanto, Mayjend (Purn) Sidabutar, dan Kapten Mascung.
Memperhatikan kasus-kasus yang diperiksa pada Pengadilan HAM Ad Hoc Timor Timur dan Tanjung Priok, umumnya para terdakwa dituntut juga berdasarkan prinsip tanggung jawab komando. Tentang tanggung jawab komando ini adalah suatu konsep hukum yang telah lama berkembang didalam hukum pidana internasional. Antara lain dapat dilihat penerapan prinsip tanggung jawab komando ini pada kasus-kasus di Mahkamah Tokyo dan Nuremberg (setelah Perang Dunia II). Begitu juga tanggung jawab komando ini diatur didalam Statuta ICTY, ICTR dan ICC. Dalam lingkup hukum nasional, masalah tanggung jawab komando ini juga diatur dalam Pasal 42 UU 26/2000. Oleh karena itu khasanah pembahasan pelanggaran HAM yang berat dilingkungan praktisi dan akademisi di tanah air bersamaan pembahasannya dengan persoalan tanggung jawab komando dan kejahatan perang.
Masalah tanggung jawab komando ini bukanlah sesuatu yang berlaku dilingkungan militer saja. Untuk lingkungan sipil hal ini juga berlaku, yang kadang-kadang diberi nama lain yaitu tanggung jawab atasan sipil. Dalam kasus Timor Timur misalnya prinsip tanggung jawab komando ini juga dijadikan dasar penuntutan oleh Jaksa terhadap terdakwa Abilio Soares (Gubernur Timor Timur) dan Eurico Guterres (pimpinan milisi Timor Timur). Ternyata dalam prakteknya banyak penerapan konsep-konsep hukum internasional tersebut di dalam hukum nasional Indonesia tidak berlangsung mulus. Banyak kritik yang disampaikan oleh para ahli hukum berkenaan dengan misalnya penerapan konsep tanggung jawab komando dan pelanggaran HAM yang berat didalam UU nomor 26 tahun 2000. Begitu pula tidak sedikit kritik yang mempertanyakan mengapa sampai saat ini Indonesia belum mengatur tentang kejahatan perang didalam hukum nasionalnya. Oleh karena itu maka dalam rangka pembaharuan hukum pidana nasional, khususnya dalam rangka penyusunan naskah KUHP, maka perlu dilakukan pengkajian bagaimana sebaiknya konsepkonsep hukum internasional tersebut diatur didalam hukum pidana nasional.

B. PERMASALAHAN
          Dari latar belakang tersebut yang telah diuraikan, dirumuskan permasalahan yaitu:
1. Bagaimana penerapan prinsip pertanggungjawaban pidana Komando dalam
    hukum positif Indonesia maupun dalam hukum Internasional?
2. Bagaimana Penerapan Tanggung Jawab Komando Dalam Putusan Pengadilan
    HAM Ad Hoc dalam kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui bagaimana praktek penerapan prinsip pertanggungjawaban
     komando dalam hukum positif Indonesia maupun hukum Internasional
2. Untuk mengetahui bagaimana penerapatn tanggung jawab komando dalam
     putusan pengadilan HAM Ad Hoc dalam kasus pelanggaran HAM berat di
     Timor Timur.

I. PEMBAHASAN
1.      Penerapan Prinsip Pertanggungjawaban Pidana Komando dalam Hukum Positif Indonesia maupun Dalam Hukum Internasional

1.1  Penerapan Prinsip Pertanggungjawaban Pidana Komando dalam
              Hukum Positif Indonesia
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 merupakan sumber hukum utama dalam menangani pelanggaran berat HAM yang meliputi kejahatan terhadap kemanusiaan; dan kejahatan genosida. Adapun yang dimaksud dengan kejahatan genosida diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 yang mengatakan bahwa kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara : Membunuh anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagainya; memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain. Selanjutnya yang dimaksud dengan kejahatan terhadap kemanusiaan diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 yang mengatakan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa : a. Pembunuhan; b. Pemusnahan; c. Perbudakan; d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok Hukum Internasional; f. Penyiksaan; g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentukbentuk kekerasan seksual lain yang setara; h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; i. Penghilangan orang secara paksa; atau j. Kejahatan apartheid.
Istilah tanggung jawab komando dikenal, bahwa tanggung jawab untuk kejahatan yang dilakukan oleh perintah termasuk referensi ucapan ‘I did it by command’ oleh bawahan (tentara) dan hasilnya adalah di satu sisi terdapat pengecualian untuk menghukum karena kemampuan dan keadaan yang meringankan sedang di sisi lain khusus tanggung jawab komandan yang dilakukan oleh bawahan.[1] Tanggung jawab komando saat ini mencakup kategori yang lebih luas: termasuk juga di dalamnya tanggung jawab atasan sipil.
Hukum hak asasi manusia di Indonesia berdasarkan UndangUndang No. 26 Tahun 2000 mengatur pertanggungjawaban komandan militer sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 42. Dalam hal pertanggungjawaban pidana dikenal beberapa pembatasan, yang tidak semua orang yang dapat dimintakan pertanggungjawaban menurut hukum. Hal tersebut diatur dalam Pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP yang mengatur tentang pengecualian pelaku dari pertanggungjawaban pidana. Namun lain halnya dengan pertanggungjawaban di lingkup militer, seorang komandan tidak dapat bebas dari pertanggungjawaban pidana, apabila ia mengetahui bahwa anak buanya telah atau akan melakukan kejahatan yang berhubungan dengan tugas mereka dan sepanjang perbuatan tersebut bersifat melawan hukum dan jika ia tidak mencegah/bertindak dan hanya membiarkan/tidak melakukan sesuatu (omission) maka komandan tersebut tetap dipertanggungjawabkan, karena adanya hubungan khusus, antara komandan (superior) dan bawahan (inferior).[2]
Sehubungan dengan tanggungjawab individu yang berhubungan dengan masalah tanggungjawab komandan militer dan atasan sipil diatur dalam Pasal 42 Undang-Undang No. 26 tahun 2000 sebagai berikut :
1. Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindakan pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut, yakni :
a. Komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat; dan
b. Komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
2. Seorang atasan baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggungjawab secara pidana terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan atau pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni :
 a. Atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat; dan
b. Atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
3. Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diancam dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40.

            Perlu juga diketahui bahwa selain tanggungjawab komandan militer terhadap pelanggaran berat hak asasi manusia menurut hukum hak asasi manusia tersebut, di Indonesia dikenal pula peradilan militer sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer dan berbagai peraturan perundangan lainnya seperti Undang- Undang No. 26 tahun 1997 yang mengatur tentang Atasan yang berhak menghukum (Ankum).[3]      
            Menurut Prinst, Ankum adalah atasan langsung yang mempunyai wewenang untuk menjatuhkan hukuman disiplin menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berwenang melakukan penyidikan (angka 9). Sedangkan yang dimaksud dengan Atasan Langsung yaitu atasan yang mempunyai wewenang komando langsung terhadap bawahan yang bersangkutan (Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No. 26 tahun 1997). Menurut pasal 1 angka 9 Undang-Undang No. 26 tahun 1997 atasan yang berhak menghukum adalah atasan yang oleh atau atas dasar Undang-Undang No. 26 tahun 1997 diberi kewenangan menjatuhkan hukuman disiplin kepada setiap Prajurit Militer (ABRI) yang berada di bawah wewenang komandonya.[4]
Tujuannya agar kewenangan-kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang dilaksanakan secara adil, bijaksana dan tetap. Penyelesaian pelanggaran hukuman disiplin prajurit sesuai Pasal 13 Undang-Undang No. 26 tahun 1997 dilaksanakan melalui pemeriksaan, penjatuhan hukuman disiplin, dan pencatatan dalam buku hukuman. Pemeriksaan dilakukan oleh Ankum, Perwira, atau Bintara (Pasal 14) yang mendapat perintah dari Aknum, atau Pejabat lain yang berwenang. Untuk itu pemeriksa berwenang memanggil secara resmi seorang prajurit yang diduga melakukan pelanggaran disiplin prajurit. Selain itu, pemeriksa juga berwenang meminta keterangan para saksi dan mengumpulkan alat-alat bukti lainnya. Pemeriksaan dilakukan secara langsung tanpa paksaan sesuai Pasal 16 Undang-Undang No. 26 tahun 1997 dan hasilnya dituangkan dalam Berita Acara pemeriksaan. Berita Acara pemeriksaan itu dan alat-alat bukti lainnya disatukan dalam berkas Perkara Disiplin dan dilaporkan kepada Ankum. Selain menerima berkas Perkara Disiplin, Ankum wajib segera mengambil keputusan untuk menjatuhkan atau tidak menjatuhkan hukuman disiplin. Putusan itu diambil setelah mendengar pertimbangan staf dan atau Atasan langsung pelanggar yang bersangkutan. Untuk itu Ankum tidak boleh menjatuhkan hukuman, apabila tidak sepenuhnya yakin tentang dapat dihukumnya pelanggarnya, atau apabila Ankum mengambil keputusan untuk tidak menjatuhkan hukuman.
1.2  Penerapan Prinsip Pertanggungjawaban Pidana Komando dalam
              Hukum Internasional
            Penerapan pinsip pertanggungjawaban komando sebagaimana tampak dalam International Military Tribunal Nuremberg (IMTN), International Military Tribunal Tokyo (IMTT), International Criminal Tribunal For Former Yugoslavia (ICTY) maupun International Criminal Tribunal For Rwanda (ICTR), telah menempatkan para komandan atau atasan sebagai terdakwa. IMTN yang terbentuk berdasarkan London Agreement tahun 1945, dan IMTT berdasarkan Instruksi Jenderal Mach Arthur tahun 1946 jo London Agreement tahun 1945, merupakan peradilan penjahat PD II yang bersifat ad hoc bentukan tentara sekutu pemenang perang atas tentara Nazi-Jerman maupun bala tentara negara Jepang, telah menerapkan prinsip pertanggungjawaban komando atas kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan terhadap hukum dan kebiasaan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Demikian pula halnya dengan peradilan internasional ad hoc yang terbentuk pasca Perang Dingin, yaitu International Criminal Tribunal For Former Yugoslavia (ICTY)  dan International Criminal Tribunal For Rwanda (ICTR). [5]
Sejarah pertanggungjawaban komando berkembang lebih jauh pasca PD II, melalui Tokyo Tribunal yang menangani perkara Jenderal Tomoyuki Yamashita bahwa :[6] a). Komandan harus bertanggungjawab kejahatan anak buahnya jika terpenuhi unsur-unsur yang menjadi dasar dalam penuntutan pertanggungjawaban komando; b). Komandan mengetahui atau seharusnya mengetahui anak buahnya akan melakukan suatu kejahatan (perang) tetapi ia tidak mencegahnya; c). Komandan mengetahui atau seharusnya mengetahui anak buahnya telah melakukan kejahatan tetapi ia tidak menghukumnya.
Selanjutnya dari perkara Admiral Soemu Toyoda (Kepala Staf Armada Gabungan Jepang) setidaknya dapat dikemukakan beberapa hal :[7]
a. Elemen utama tindakan kejahatan (perang) yang dilakukan bawahannya adalah atas perintah komandan, menyebabkan komandan bertanggung jawab.
b. Dalam hal perintah tidak ada atau keberadaannya diragukan maka pertanggungjawaban komando timbul bila terdapat elemen-elemen pokok, yang berupa :
- Adanya atrocities (dilakukannya pembunuhanpembunuhan secara keji) dengan adanya korban atau pemberitahuan secara actual atau konstruktif;
- Laporan pemberitahuan actual tertuduh (komandan) melihat kejahatan tersebut dilakukan atau diberitahu segera setelah kejahatan terjadi;
 - Konstruktif, dalam lingkungan komando banyak terjadi kejahatan, sehingga menurut akal sehat bahwa tertuduh (komandan) telah mengetahui kejahatan-kejahatan tersebut terjadi;
- Adanya kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki tersangka (komandan) untuk memberi perintah agar pelaku kejahatan menghentikan tindakannya atau menghukum/menindak pelaku;
 - Gagal mengambil tindakan yang diperlukan (mencegah, menghentikan, dan menindak) sesuai dengan kekuasaan yang dimilikinya dalam pengendalian pasukan.
            International Criminal Tribunal For Former Yugoslavia (ICTY) dalam perkara Radovan Karadzic dan Ratko Mladic, menyebutkan bahwa keduanya bertanggungjawab secara pidana karena militer dan polisi Bosnia Serbia yang terlibat dalam kejahatan tersebut berada di bawah pengendalian, komando dan perintahnya selama periode kekuasaannya. Melalui posisinya, keduanya tahu atau terdapat alasan patut mengetahui bahwa bawahan mereka terlibat atau akan terlibat kejahatan. Keterlibatan bawahan tersebut membuktikan bahwa keduanya gagal mengambil langkah yang diperlukan dan masuk akal untuk mencegah tindakan tersebut atau oleh karenanya menghukum pelaku. Berdasarkan prinsip pertanggungjawaban komando Pasal 7 ayat (3) Statuta ICTY maka harus terbukti lima unsur sebagai berikut :[8]
 1. Status tersangka sebagai komandan atau sipil yang memiliki kekuasaan yang sama dengan komando militer terhadap orang yang melakukan pelanggaran;
 2. Pelanggaran hukum (perang) telah terjadi atau akan terjadi;
 3. Komandan secara aktual mengetahui tindakan pelanggaran hukum (perang) atau komandan memiliki pengetahuan yang memungkinkan dia mengambil kesimpulan bahwa hukum perang telah dilanggar;
4. Komandan gagal bertindak untuk menghentikan pelanggaran dengan melakukan pengusutan dan menghukum para pelaku atau mengambil langkah untuk mencegah terjadinya pelanggaran pada masa depan;
5. Kegagalan komandan bertindak sebagai penyebab terjadinya kejahatan perang.
            Putusan hakim International Criminal Tribunal For Rwanda (ICTR) dalam perkara Jean Kambanda, menyebutkan bahwa unsur pokok pertanggungjawaban komando adalah : [9]
1. Adanya hubungan subordinasi antara komandan dan pelaku kejahatan, dalam hal ini dapat bersifat hubungan langsung maupun hubungan tidak langsung (mengikuti hierarkhi rantai komando);
2. Perlu dibuktikan bahwa komandan mengetahui, atau seharusnya mengetahui bahwa pasukan di bawah komandonya sedang, atau akan atau telah melakukan pelanggaran HI (mens rea);
3. Komandan telah gagal melakukan pencegahan atau menghukum pelaku pelanggaran (actus reus).
            Upaya menuntut pertanggungjawaban pidana komandan atau atasan atas pelanggaran HAM berat setidaknya telah dipraktikan dalam lembaga peradilan (HAM) ad hoc pasca Perang Dunia II hingga pasca Perang Dingin. Selain peradilan internasional ad hoc di atas, upaya menuntut pertanggungjawaban pidana komandan atau atasan dilakukan via pembentukan Hybrid Tribunal yang bersifat ad hoc di Kamboja, Timor Leste maupun Sira Leone, serta ICC sebagai peradilan internasional yang bersifat permanen. Hal demikian dilihat dari teori hubungan HI dan HN, menunjukkan adanya penggunaan teori Monisme Primat HI. Penggunaan teori tersebut tampak dari instrumen hukum yang dijadikan sebagai dasar pendirian lembaga peradilannya. Dasar hukum pendirian IMTN maupun IMTT sebagai lembaga peradilan (HAM) internasional ad hoc adalah London Agreement tahun 1945, ICTR dan ICTY yang juga merupakan peradilan internasional ad hoc adalah Resolusi DK-PBB, serta ICC berdasarkan Statuta Roma 1998.

2. Penerapan Tanggung Jawab Komando dalam Putusan Pengadilan HAM
    Ad Hoc dalam Kasus Pelanggaran HAM Berat di Timor Timur
            Pada tanggal 27 Januari 1999, pemerintahan B.J. Habibie mengambil kebijakan untuk menyelesaikan masalah Timor Timur dengan mengajukan dua opsi. Opsi pertama adalah pemberian otonomi khusus terhadap rakyat Timor Timur, yang berarti tetap menjadi bagian dari wilayah Republik Indonesia. Opsi kedua adalah menolak otonomi khusus yang berarti tidak lagi menjadi bagian dari wilayah atau provinsi Republik Indonesia. Tawaran penyelesaian melalui dua opsi menolak dan menerima otonomi itu dituangkan ke dalam suatu perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Portugal, di bawah naungan Sekretaris Jenderal PBB pada tanggal 5 Mei 1999 di New York. Dalam perjanjia itu disepakati bahwa Pemerintah Indonesia bertanggung jawab terhadap keamanan dan perdamaian di Timor Timur guna memastikan penentuan pendapat bisa dilaksanakan dengan fair dan aman, bebas dari intimdasi, kekerasan atau campur tangan dari berbagai pihak.
Seiring dengan ditandatanganinya perjanjian New York itu, di Timor Timur muncul berbagai gerakan politik yang mengartikulasikan kehendaknya masing-masing. Di satu sisi ada gerakan yang menolak otonomi khusus yang direpresentasikan oleh Conselho Nacional da Resistensia Timorense (CNRT) dan di sisi lain kelompok pro otonomi khusus yang dimotori oleh para pejabat di Pemda Timor Timur, yang mendapat dukungan dari Jakarta, terutama dari TNI dan Polri.
Bentuk dari gerakan politik pro otonomi ini adalah mengonsolidasikan satuan-satuan milisi yang sebelumnya pernah ada atau membuat nama-nama satuan milisi baru ke dalam wadah perjuangan bersama dengan nama Pasukan Pejuang Integrasi dengan badan politik Forum Perdamaian Demokrasi dan Keadilan (FPDK).
Perihal kekerasan yang terjadi, telah timbul jauh hari sebelum pemerintah mengumumkan opsi kedua pada 27 Januari 1999, sebagaimana ditunjukkan dalam kasus pengepungan wilayah Kecamatan Alas, Manufahi di bulan Oktober 1998, Kecamatan Cailako, Bobonaro di bulan Desember 1998, Kecamatan Maubara di bulan Januari 1999. Aksi kekerasan dengan modus pengepungan, pembakaran rumah dan pembunuhan ini dilakukan oleh satuan-satuan milisi yang didampingi oleh anggota TNI dan Koramil setempat yang juga berasal dari Timor Timur.
Tindak lanjut perjanjian 5 Mei 1999 dan di tengah situasi pro kontra terhadap dua opsi yang ditawarkan Jakarta, pada tanggal 30 Agustus 1999, rakyat Timor Timur melaksanakan jajak pendapat. Hasilnya 78,5 persen dari peserta jajak pendapat (334.580 pemilih) menolak opsi otonomi khusus, yang berarti memilih lepas dari Republik Indonesia, sedangkan sekitar 21 persen (94.388 pemilih) memilih opsi otonomi khusus, dan 1,8 persen (7.985 pemilih) dinyatakan tidak sah. Segera setelah pengumuman hasil jajak pendapat pada tanggal 4 September 1999 terjadilah pelbagai bentuk kekerasan yaitu pembunuhan, pembumihangusan, penjarahan, serta pengungsian penduduk secara besar-besaran.
Pada tanggal 8 September 1999, Komnas HAM mengeluarkan pernyataan tentang kondisi HAM di Timor Timur pasca jajak pendapat: bahwa perkembangan kehidupan masyarakat Timor Timur  pada waktu itu telah mencapai kondisi anarki dan tindakan-tindakan terorisme telah dilakukan secara luas, baik oleh perorangan maupun kelompok dengan kesaksian langsung dan pembiaran oleh unsur-unsur aparat keamanan. Komisi HAM PBB di Geneva pada tanggal 23-27 September 1999 menyelenggarakan special session mengenai situasi di Timor Timur sebagai tindak lanjut konsultasi di antara anggota komisi atas permintaan Portugal pada 9 September 1999. Pemilihan suara menghasilkan 28 setuju diadakan special session, 15 menolak sedangkan 2 abstain. Resolusi tersebut meminta kepada Sekjen PBB untuk menetapkan komisi penyidik internasional dengan perwakilan yang memadai dari ahli-ahli Asia dan bekerja sama dengan Komnas HAM serta Pelapor Khusus guna mengumpulkan dan megompolaskan informasi secara sistematis mengenai pelanggaran HAM yang terjadi, dan tindakan-tindakan pelanggaran huum kemanusaian internasional di Timor Timur. Komisi itu kemudian memberikan laporan dan hasil kerjanya pada Sekjen PBB sebagai bahan masukan utnuk memberikan masukan.
Di kesempatan itu, pada tanggal 23 September 1999, Kepala Perwakilan Tetap Republik Indonesia di Geneva menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia pada malam sebelumnya telah membentuk komisi pencari fakta untuk mengumpulkan informasi tentang pelanggaran HAM. Komisi ini disambut baik oleh special session. Dalam laporan resminya kepada komnas HAM pada tanggal 31 Januari 2000, KPP-HAM berhasil mengumpulkan fakta dan bukti yang menunjukkan indikasi kuat terjadinya pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan secara terencana, sistematis dalam skala besar dan luas berupa pembunuhan massal, penyiksaan dan penganiayaan, penghilangan paksa, kekerasan terhadap perempuan dan anak (termasuk di dalamnya perkosaan dan perbudakan seksual), pengungsian paksa, pembumihangusan dan pengrusakan harta benda, yang kesemuanya merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pengadilan HAM ad hoc kasus Timtim (1999), dibentuk berdasarkan Keppres No. 53 tahun 2001 yunto Keppres No. 96 tahun 2001. Pengadilan HAM ad hoc berwenang mengadili para pelaku pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan berdasarkan prinsip pertanggungjawaban komando yang terjadi pasca jajak pendapat dengan tempos delictie bulan April hingga September 1999 dan locus delictie meliputi Dili, Liquica dan Suai Kovalima. Para terdakwa yang dituntut berdasarkan prinsip pertanggungjawaban komando berjumlah delapan belas (18) orang yang terbagi dalam dua belas (12) berkas perkara. Para terdakwa yang termasuk dalam kategori komandan militer terdiri dari sepuluh (10) orang, yaitu : Liliek Koeshadianto (Mantan PLH Dandim Suai); Achmad Syamsudin (Mantan Kasdim 1635 Suai); Sugito (Mantan Danramil Suai); Asep Kuswani (Mantan Kasdim Liquisa); Endar Priyanto (Mantan Dandim Dili); Sudjarwo (Mantan Dandim Liquisa); Adam Damiri (Mantan Pangdam Udayana); Tono Suratman (Mantan Dandim Wiradharma); Noer Muis (Mantan Danrem Wiradharma); dan Yayat Sudrajat (Mantan Dansatgas Tribuana). Para terdakwa yang termasuk dalam kategori atasan polisi terdiri dari empat (4) orang, yaitu : Timbul Silaen (Mantan Kapolda Timtim); Gatot Subiyaktoro (Mantan Kapolres Suai); Adios Salopa (Mantan Kapolres Liquisa); dan Hulman Gultom (Mantan Kapolres Dili). Para terdakwa yang termasuk dalam kategori atasan sipil lainnya terdiri dari empat (4) orang, yaitu : Abilio Jose Soares (Mantan Gubernur Timor Timur); Herman Sedyono (Mantan Bupati Covalima); Leonito Martin (Mantan Bupati Liquisa); Eurico Guterres (Mantan Wakil Panglima Pro Integrasi).[10]
Para terdakwa oleh majelis hakim pengadilan HAM ad hoc pada tingkat pertama telah diputus bebas sebanyak 66,67 %, diputus 3 tahun penjara 16,67 %, diputus selama 5 tahun penjara 11,11 %, dan yang diputus pidana penjara selama 10 tahun sebanyak 5,56 %. Pada tingkat banding sebanyak 16,67 % para terdakwa oleh majelis hakim telah diputus 3 tahun pidana penjara, yang berarti menguatkan putusan pengadilan HAM. Sebanyak 66,67 % diputus bebas yang sebelumnya oleh majelis hakim pengadilan HAM diputus dengan pidana penjara selama 3 dan 5 tahun. Selanjutnya sebanyak 16,67 % terdakwa pada tingkat banding diputus pidana penjara 5 tahun yang mana sebelumnya pada tingkat pertama diputus dengan pidana penjara 10 tahun. Pada tingkat kasasi sebanyak 88,89 % para terdakwa diputus bebas, sedangkan sisanya 11,11 % diputus dengan pidana penjara masing-masing selama 3 tahun (a/n terdakwa Abilio Jose Soares mantan Gubernur Timtim) dan 10 tahun (a/n terdakwa Eurico Guterres mantan wakil panglima pro integrasi). Khusus untuk Abilio Jose Osorio Soares dan Eurico Guterres pada pemeriksaan Peninjauan Kembali (PK), oleh majelis hakim Agung MA 100 % telah diputus bebas.[11]
            Dengan mencermati putusan pengadilan HAM Ad Hoc pada kasus pelanggaran berat HAM di Timor-Timor maka terdapat delik yang berkaitan dengan tanggung jawab komando (Pasal 42 UU No. 26 tahun 2000) yaitu:[12]
1.      Putusan yang menjelaskan tanggung jawab komando hanya berkaitan dengan adanya hubungan antara atasan dan bawahan, antara pelaku dan terdakwa, yang telah memenuhi adanya unsur keterlibatan (involvement), hubungan (connection), pengetahuan (knowledge) atau maksud (intent) dari seorang komandan dengan tindakan kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya tersebut. Selain itu juga pertanggungjawaban seorang komandan terhadap kejahatan pada kasus tersebut didasarkan pada terjadinya pelanggaran terhadap tugas (breach of duty). Ada dua alasan yang harus menjadi dasar pertimbangan untuk menilai bahwa suatu pelanggaran terhadap tugas telah mengakibatkan terjadinya kejahatan:
·        Pelanggaran terhadap tugas atau dinas tersebut harus mempunyai hubungan langsung atau menjadi penyebab utama dari timbulnya kejahatan. Dalam hal ini, kejahatan tidak akan terjadi jika tidak terjadi pelanggaran terhadap kewajiban dinas.
·        Komandan harus memiliki kewenangan dan kekuasaan untuk mencegah terjadinya tindak pidana/ kejahatan tersebut. Jika komandan tidak memiliki kewenangan atau kekuasaan untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk mencegah, menghentikan dan menindak kejahatan dan pelakunya sekaligus, maka tentu saja tidak tepat untuk menuntut pertanggungjawaban pidana berdasarkan doktrin tanggung jawab komando.
2.      Pengendalian atau kontrol yang efektif secara umum ditafsirkan sebagai suatu kondisi yang menjelaskan atasan secara sungguh-sungguh mampu menggunakan kekuasannya bilamana ia menginginkannya. Dengan demikian istilah tersebut menunjuk kepada “material ability” untuk mencegah dan menahan tindak pidana. Mengenai unsur tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukannya pengendalian pasukan secara patut, menurut pengadilan mengandung arti atasan gagal mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna mencegah atau menghentikan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi di dalam wilayah kekuasaannya yang efektif.
3.     Mengenai unsur  “mengetahui atau berdasarkan keadaan yang berlangsung saat itu”, seharusnya mengetahui bahwa pasukannya sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat”, pengadilan menyatakan bukan berarti pasukan tersebut harus secara aktif melakukan penyerangan namun dengan sikap pasif pun artinya pasukan tersebut tidak melakukan tindakan pencegahan atau gagal untuk menghentikan terjadinya pelanggaran HAM yang berat, pasukan tersebut sudah termasuk sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran HAM yang berat.
Selanjutnya penerapan tanggung jawab komando yang juga berkenan kegagalan bertindak atau kegagalan untuk melakukan langkah- langkah yang selayaknya. Dalam hal ini factor posisi terdakwa dengan kewenangannya merupakan faktor penting dalam mentukan peranan terdakwa dalam peristiwa pelanggaran HAM yang berat yang terjadi. Pandangan ini menjelaskan bahwa atasan tidak hanya bertanggung jawab terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh bawahannya dalam pengendalian yang efektif tetapi juga tetap harus bertanggungjawab juga terhadap tindak pidana yang terjadi akibat tidak dilakukannya pengendalian pasukan secara patut, artinya atasan gagal mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna mencegah atau menghentikan terjadinya pelanggaran HAM yang berat yang terjadi didalam wilayah kekuasannya yang efektif.
Penerapan tanggung jawab komando dalam kasus tersebut (Timor-Timur) cenderung juga pada Pasal 28 ICC sebagaimana perumusannya sama dengan Pasal 42 UU NO 26 tahun 2000 yang perumusannya adalah: [13]
1.         Bahwa komandan militer mengetahui atau berdasarkan keadaan yang berlangsung saat itu, seharusnya telah mengetahui bahwa pasukannya sedang melakukan atau akan melakukan kejahatan;
2.         Bahwa komandan militer tidak berhasil mengambil semua tindakan yang semestinya dan diperlukan sesuai kewenangannya untuk mencegah atau menindak terjadinya kejahatan.








C. PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. - UU No. 26 tahun 2000 sebagai dasar hukum penuntutan pertanggungjawaban komando atas pelanggaran HAM berat di Indonesia, merupakan bentuk pertanggungjawaban negara secara internasional dengan mengadili para pelaku pelanggaran HAM berat menggunakan sarana hukum nasionalnya. Pengaturan pertanggungjawaban komando atas pelanggaran HAM berat dalam ketentuan Pasal 42 UU No. 26 tahun 2000, memberi pengaturan bahwa pertanggungjawaban di lingkup militer, seorang komandan tidak dapat bebas dari pertanggungjawaban pidana, apabila ia mengetahui bahwa anak buanya telah atau akan melakukan kejahatan yang berhubungan dengan tugas mereka dan sepanjang perbuatan tersebut bersifat melawan hukum dan jika ia tidak mencegah/bertindak dan hanya membiarkan/tidak melakukan sesuatu (omission) maka komandan tersebut tetap dipertanggungjawabkan, karena adanya hubungan khusus, antara komandan (superior) dan bawahan (inferior).
    - Pengaturan pertanggungjawaban berkembang pada upaya pengaturan dalam suatu instrumen hukum, antara lain dalam Piagam Nuremberg Jerman, Statuta ICTY dan Statuta ICTR, serta Statuta Roma tentang ICC. Penerapan pinsip pertanggungjawaban komando sebagaimana tampak dalam International Military Tribunal Nuremberg (IMTN), International Military Tribunal Tokyo (IMTT), International Criminal Tribunal For Former Yugoslavia (ICTY) maupun International Criminal Tribunal For Rwanda (ICTR), telah menempatkan para komandan atau atasan sebagai terdakwa.
2. Dengan mencermati putusan pengadilan HAM Ad Hoc pada kasus pelanggaran berat HAM di Timor-Timor maka terdapat delik yang berkaitan dengan tanggung jawab komando (Pasal 42 UU No. 26 tahun 2000) yaitu:
    1.      Putusan yang menjelaskan tanggung jawab komando hanya berkaitan dengan adanya hubungan antara atasan dan bawahan, antara pelaku dan terdakwa, yang telah memenuhi adanya unsur keterlibatan (involvement), hubungan (connection), pengetahuan (knowledge) atau maksud (intent) dari seorang komandan dengan tindakan kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya tersebut. Selain itu juga pertanggungjawaban seorang komandan terhadap kejahatan pada kasus tersebut didasarkan pada terjadinya pelanggaran terhadap tugas (breach of duty). Ada dua alasan yang harus menjadi dasar pertimbangan untuk menilai bahwa suatu pelanggaran terhadap tugas telah mengakibatkan terjadinya kejahatan:
·        Pelanggaran terhadap tugas atau dinas tersebut harus mempunyai hubungan langsung atau menjadi penyebab utama dari timbulnya kejahatan. Dalam hal ini, kejahatan tidak akan terjadi jika tidak terjadi pelanggaran terhadap kewajiban dinas.
·        Komandan harus memiliki kewenangan dan kekuasaan untuk mencegah terjadinya tindak pidana/ kejahatan tersebut. Jika komandan tidak memiliki kewenangan atau kekuasaan untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk mencegah, menghentikan dan menindak kejahatan dan pelakunya sekaligus, maka tentu saja tidak tepat untuk menuntut pertanggungjawaban pidana berdasarkan doktrin tanggung jawab komando.
        2.      Pengendalian atau kontrol yang efektif secara umum ditafsirkan sebagai suatu kondisi yang      menjelaskan atasan secara sungguh-sungguh mampu menggunakan kekuasannya bilamana ia         menginginkannya. Dengan demikian istilah tersebut menunjuk kepada “material ability” untuk    mencegah dan menahan tindak pidana. Mengenai unsur tindak pidana tersebut merupakan            akibat dari tidak dilakukannya pengendalian pasukan secara patut, menurut pengadilan              mengandung arti atasan gagal mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna mencegah atau  menghentikan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi di dalam     wilayah kekuasaannya yang efektif.
     3.     Mengenai unsur  “mengetahui atau berdasarkan keadaan yang berlangsung saat itu”, seharusnya mengetahui bahwa pasukannya sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat”, pengadilan menyatakan bukan berarti pasukan tersebut harus secara aktif melakukan penyerangan namun dengan sikap pasif pun artinya pasukan tersebut tidak melakukan tindakan pencegahan atau gagal untuk menghentikan terjadinya pelanggaran HAM yang berat, pasukan tersebut sudah termasuk sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran HAM yang berat.
B. SARAN
1. Menyarankan kepada pemerintah untuk sesegera menuntaskan peristiwa yang berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM telah terjadi pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan yang mana para pelakunya dapat dituntut berdasarkan prinsip pertanggungjawaban komando.
2. Menyarankan kepada DPR-RI sebagai lembaga legislasi Indonesia memasukkan ketentuan kejahatan perang sebagai Pelanggaran HAM berat yang belum diatur dalam UU No 26 tahun 2000. Baik dengan mengesahkan RUU KUHP maupun melakukan amandemen terhadap UU No 26 tahun 2000 yang hanya mengatur mengenai genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai pelanggaran HAM berat.


















DAFTAR PUSTAKA

Marzuki, Suparman, 2012, Pengadilan HAM di Indonesia, Jakarta, Penerbit
     Erlangga.
Prinst, D, 2002, Peradilan Militer, Bandung, Citra Aditya Bakti.
Prasetyohadi dan Anton Prajasto, 2001, Tentang Tanggung Jawab Komando :      
                 Mengembalikan Kehormatan Komandan, Makalah Lokakarya
                 Internasional “Kejahatan Terhadap Kemanusiaan” Jakarta, Komnas
                 HAM.
Sumber jurnal
Ferenc SÁNTHA, Special Responsibility of Superiors (Commanders) in The International Criminal Lawhttp://eds.a.ebscohost.com/2013, diakses pada 20 April 2015.
Vonny A. Wongkar, Tanggung Jawab Komando Terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang Berat dan Kejahatan Perang dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, Tesis Magister (Semarang: Universitas Diponegoro,2006).
Joko Setiyono, Pertanggungjawaban Komando (Command Responsibility) dalam Pelanggaran HAM Berat (Studi Kasus Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Di Indonesia), Disertasi Doktor (Semarang:  Universitas Diponegoro, 2010).
Joko Setiyono, Pertanggungjawaban Komando (Command Responsibility) dalam Pelanggaran HAM Berat (Studi Kasus Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Di Indonesia), Ringkasan Disertasi Doktor (Semarang:  Universitas Diponegoro, 2010).



[1] Ferenc SÁNTHA, Special Responsibility of Superiors (Commanders) in The International Criminal Lawhttp://eds.a.ebscohost.com/2013, hal 1.
[2] Vonny A. Wongkar, Tanggung Jawab Komando Terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang Berat dan Kejahatan Perang dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, Tesis Magister (Semarang: Universitas Diponegoro,2006), hal 90.
[3] Ibid, halaman 101.
[4] Prinst, D, 2002. Peradilan Militer, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.39-40.
[5] Joko Setiyono, Pertanggungjawaban Komando (Command Responsibility) dalam Pelanggaran HAM Berat (Studi Kasus Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Di Indonesia), Disertasi Doktor (Semarang:  Universitas Diponegoro, 2010), hal 42.
[6] Prasetyohadi dan Anton Prajasto, Op.Cit, hal 45.
[7] Ibid, halaman 47.
[8] Ibid, halaman 49.
[9] Ibid, halaman 50.
[10] Joko Setiyono, Pertanggungjawaban Komando (Command Responsibility) dalam Pelanggaran HAM Berat (Studi Kasus Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Di Indonesia), Disertasi Doktor (Semarang:  Universitas Diponegoro, 2010), hal 284.
[11] Ibid, halaman 285
[12] Vo 113 Vonny A. Wongkar, Tanggung Jawab Komando Terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang Berat dan Kejahatan Perang dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, Tesis Magister (Semarang: Universitas Diponegoro,2006), hal 113.
[13] Ibid, halaman 117.