I. PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Persoalan
mengenai hak asasi manusia sebenarnya bukanlah sesuatu persoalan yang baru
muncul. Namun demikian hal tersebut masih tetap aktual dan selalu berkembang
sesuai dengan perkembangan zaman, terlebih lagi masih banyak aspek yang perlu
dikaji seiring dengan munculnya berbagai persoalan kemanusiaan terkait dengan
hak asasi manusia, baik di tingkat nasional maupun tingkat internasional. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang selanjutnya disebut Undang-Undang
Pengadilan HAM, Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.
Disamping peraturan perundangan
tersebut diatas, juga yang merupakan delik khusus adalah pelanggaran HAM (Hak
Asasi Manusia) sebagaimana diatur dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM. Dalam
perkembangan hukum pidana di Indonesia, terutama setelah peristiwa Timor Timur,
permasalahan pelanggaran HAM banyak dibahas oleh para ahli. Selanjutnya dengan
mengacu kepada UU nomor 39 tahun 1999 dan UU nomor 26 tahun 2000 (Pengadilan
HAM), maka dikenal dua bentuk pelanggaran HAM, yaitu palanggaran HAM biasa dan
pelanggaran HAM berat. Dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, pengertian
Pelanggaran HAM terdapat dalam Pasal 1 butir 6 dan pengertian Pelanggaran HAM
Berat terdapat dalam penjelasan UU No. 39 tahun 1999 yaitu dalam Pasal 104 ayat
1.
Di dalam penjelasan UU No. 39 Tahun
1999 mengenai pengertian pelanggaran HAM berat diuraikan dalam Pasal 104 ayat 1
menyatakan :
Pelanggaran
HAM yang berat adalah pembunuhan massal (genoside), pembunuhan sewenang-wenang
atau diluar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan,
penghilangan orang secara paksa, perbudakan, deskriminasi yang dilakukan secara
sistematis4 (systematic descrimination).
Pasal
104 ayat (1) dari UU nomor 39 tahun 1999 ini, berbeda dengan pengertian
pelanggaran HAM berat yang dimaksud dalam UU nomor 26 tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM. Dalam UU tersebut dijelaskan pelanggaran HAM berat meliputi;
genoside dan kejahatan terhadap kemanusiaana (Pasal 7).
Pelanggaran
HAM berat kemudian semakin mengemuka setelah adanya Pengadilan HAM Ad Hoc Timor
Timur dan Tanjung Priok. Pengadilan HAM Ad Hoc ini dibentuk berdasarkan
Keputusan Presiden nomor 53 tahun 2001 yang kemudian disempurnakan dengan
Keppres nomor 96 tahun 2001. Sebagaimana diketahui bahwa berdasarkan UU nomor
26 tahun 2000 ada dua bentuk Pengadilan HAM, yaitu Pengadilan HAM permanen
(biasa) dan Pengadilan HAM Ad Hoc. Keduanya berada dibawah lingkungan Peradilan
Umum. Kasus-kasus yang diperiksa dalam Pengadilan HAM Ad Hoc Timor Timur dan
Tanjung Priok umumnya adalah kejahatan yang disebut dengan pelanggaran HAM yang
berat. Terdakwa yang diadili antara lain Mayjend. TNI Adam Damiri (Panglima
KODAM IX/Udayana yang juga membawahi Timor Timur pada waktu itu), Brijend TNI
Noer Muis (yang pada waktu itu menjabat sebagai Danrem di Timtim), Brigjend
(Pol) Timbul Silaen (yang pada waktu itu menjabat sebagai KAPOLDA Timor Timur)
Gubernur Timor Timur Abilio Soares dan Eurico Guterres (Pimpinan Pasukan Milisi
pro-Indonesia). Sedangkan dalam peristiwa Tanjung Priok yang diadili aatara
lain Mayjend TNI Sriyanto, Mayjend (Purn) Sidabutar, dan Kapten Mascung.
Memperhatikan
kasus-kasus yang diperiksa pada Pengadilan HAM Ad Hoc Timor Timur dan Tanjung
Priok, umumnya para terdakwa dituntut juga berdasarkan prinsip tanggung jawab
komando. Tentang tanggung jawab komando ini adalah suatu konsep hukum yang
telah lama berkembang didalam hukum pidana internasional. Antara lain dapat
dilihat penerapan prinsip tanggung jawab komando ini pada kasus-kasus di
Mahkamah Tokyo dan Nuremberg (setelah Perang Dunia II). Begitu juga tanggung
jawab komando ini diatur didalam Statuta ICTY, ICTR dan ICC. Dalam lingkup
hukum nasional, masalah tanggung jawab komando ini juga diatur dalam Pasal 42
UU 26/2000. Oleh karena itu khasanah pembahasan pelanggaran HAM yang berat
dilingkungan praktisi dan akademisi di tanah air bersamaan pembahasannya dengan
persoalan tanggung jawab komando dan kejahatan perang.
Masalah
tanggung jawab komando ini bukanlah sesuatu yang berlaku dilingkungan militer
saja. Untuk lingkungan sipil hal ini juga berlaku, yang kadang-kadang diberi
nama lain yaitu tanggung jawab atasan sipil. Dalam kasus Timor Timur misalnya
prinsip tanggung jawab komando ini juga dijadikan dasar penuntutan oleh Jaksa
terhadap terdakwa Abilio Soares (Gubernur Timor Timur) dan Eurico Guterres
(pimpinan milisi Timor Timur). Ternyata dalam prakteknya banyak penerapan
konsep-konsep hukum internasional tersebut di dalam hukum nasional Indonesia
tidak berlangsung mulus. Banyak kritik yang disampaikan oleh para ahli hukum
berkenaan dengan misalnya penerapan konsep tanggung jawab komando dan
pelanggaran HAM yang berat didalam UU nomor 26 tahun 2000. Begitu pula tidak
sedikit kritik yang mempertanyakan mengapa sampai saat ini Indonesia belum
mengatur tentang kejahatan perang didalam hukum nasionalnya. Oleh karena itu
maka dalam rangka pembaharuan hukum pidana nasional, khususnya dalam rangka
penyusunan naskah KUHP, maka perlu dilakukan pengkajian bagaimana sebaiknya
konsepkonsep hukum internasional tersebut diatur didalam hukum pidana nasional.
B. PERMASALAHAN
Dari
latar belakang tersebut yang telah diuraikan, dirumuskan permasalahan yaitu:
1. Bagaimana
penerapan prinsip pertanggungjawaban pidana Komando dalam
hukum positif Indonesia maupun dalam hukum
Internasional?
2. Bagaimana
Penerapan Tanggung Jawab Komando Dalam Putusan Pengadilan
HAM Ad Hoc dalam kasus pelanggaran HAM
berat di Timor Timur?
C. TUJUAN
1. Untuk
mengetahui bagaimana praktek penerapan prinsip pertanggungjawaban
komando dalam hukum positif Indonesia maupun
hukum Internasional
2. Untuk mengetahui
bagaimana penerapatn tanggung jawab komando dalam
putusan pengadilan HAM Ad Hoc dalam kasus
pelanggaran HAM berat di
Timor Timur.
I. PEMBAHASAN
1.
Penerapan Prinsip Pertanggungjawaban Pidana Komando dalam
Hukum Positif Indonesia maupun Dalam Hukum Internasional
1.1 Penerapan Prinsip Pertanggungjawaban Pidana
Komando dalam
Hukum Positif Indonesia
Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 merupakan sumber hukum utama dalam menangani pelanggaran
berat HAM yang meliputi kejahatan terhadap kemanusiaan; dan kejahatan genosida.
Adapun yang dimaksud dengan kejahatan genosida diatur dalam Pasal 8
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 yang mengatakan bahwa kejahatan genosida
sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang
dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau
sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :
Membunuh anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang
berat terhadap anggota-anggota kelompok; menciptakan kondisi kehidupan kelompok
yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagainya; memaksakan
tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau memindahkan
secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain. Selanjutnya
yang dimaksud dengan kejahatan terhadap kemanusiaan diatur dalam Pasal 9
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 yang mengatakan bahwa kejahatan terhadap
kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan
yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap
penduduk sipil, berupa : a. Pembunuhan; b. Pemusnahan; c. Perbudakan; d.
Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. Perampasan kemerdekaan
atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar
(asas-asas) ketentuan pokok Hukum Internasional; f. Penyiksaan; g. Perkosaan,
perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan
atau sterilisasi secara paksa atau bentukbentuk kekerasan seksual lain yang
setara; h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang
didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis
kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang
dilarang menurut hukum internasional; i. Penghilangan orang secara paksa; atau
j. Kejahatan apartheid.
Istilah
tanggung jawab komando dikenal, bahwa tanggung jawab untuk kejahatan yang
dilakukan oleh perintah termasuk referensi ucapan ‘I did it by command’ oleh
bawahan (tentara) dan hasilnya adalah di satu sisi terdapat pengecualian untuk
menghukum karena kemampuan dan keadaan yang meringankan sedang di sisi lain
khusus tanggung jawab komandan yang dilakukan oleh bawahan.[1]
Tanggung jawab komando saat ini mencakup kategori yang lebih luas: termasuk
juga di dalamnya tanggung jawab atasan sipil.
Hukum
hak asasi manusia di Indonesia berdasarkan UndangUndang No. 26 Tahun 2000
mengatur pertanggungjawaban komandan militer sebagaimana yang terdapat dalam
Pasal 42. Dalam hal pertanggungjawaban pidana dikenal beberapa pembatasan, yang
tidak semua orang yang dapat dimintakan pertanggungjawaban menurut hukum. Hal
tersebut diatur dalam Pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP yang mengatur tentang
pengecualian pelaku dari pertanggungjawaban pidana. Namun lain halnya dengan
pertanggungjawaban di lingkup militer, seorang komandan tidak dapat bebas dari
pertanggungjawaban pidana, apabila ia mengetahui bahwa anak buanya telah atau akan
melakukan kejahatan yang berhubungan dengan tugas mereka dan sepanjang
perbuatan tersebut bersifat melawan hukum dan jika ia tidak mencegah/bertindak
dan hanya membiarkan/tidak melakukan sesuatu (omission) maka komandan tersebut tetap dipertanggungjawabkan,
karena adanya hubungan khusus, antara komandan (superior) dan bawahan (inferior).[2]
Sehubungan dengan
tanggungjawab individu yang berhubungan dengan masalah tanggungjawab komandan
militer dan atasan sipil diatur dalam Pasal 42 Undang-Undang No. 26 tahun 2000
sebagai berikut :
1. Komandan militer atau seseorang yang
secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan
terhadap tindakan pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang
dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang
efektif, atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak
pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan
secara patut, yakni :
a.
Komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui bahwa pasukan tersebut
sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
berat; dan
b.
Komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak
dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau
menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang
berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
2. Seorang
atasan baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggungjawab secara pidana
terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang dilakukan oleh
bawahannya yang berada di bawah kekuasaan atau pengendaliannya yang efektif,
karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara
patut dan benar, yakni :
a. Atasan tersebut mengetahui atau secara
sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukan bahwa bawahan sedang
melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat;
dan
b. Atasan tersebut tidak mengambil
tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk
mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada
pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan.
3. Perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diancam dengan pidana yang
sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan
Pasal 40.
Perlu juga diketahui bahwa selain tanggungjawab
komandan militer terhadap pelanggaran berat hak asasi manusia menurut hukum hak
asasi manusia tersebut, di Indonesia dikenal pula peradilan militer sebagaimana
yang diatur dalam Undang-Undang No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer dan
berbagai peraturan perundangan lainnya seperti Undang- Undang No. 26 tahun 1997
yang mengatur tentang Atasan yang berhak menghukum (Ankum).[3]
Menurut Prinst, Ankum adalah atasan
langsung yang mempunyai wewenang untuk menjatuhkan hukuman disiplin menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berwenang melakukan
penyidikan (angka 9). Sedangkan yang dimaksud dengan Atasan Langsung yaitu
atasan yang mempunyai wewenang komando langsung terhadap bawahan yang
bersangkutan (Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No. 26 tahun 1997). Menurut pasal 1
angka 9 Undang-Undang No. 26 tahun 1997 atasan yang berhak menghukum adalah
atasan yang oleh atau atas dasar Undang-Undang No. 26 tahun 1997 diberi
kewenangan menjatuhkan hukuman disiplin kepada setiap Prajurit Militer (ABRI)
yang berada di bawah wewenang komandonya.[4]
Tujuannya agar kewenangan-kewenangan
yang diberikan oleh Undang-undang dilaksanakan secara adil, bijaksana dan
tetap. Penyelesaian pelanggaran hukuman disiplin prajurit sesuai Pasal 13
Undang-Undang No. 26 tahun 1997 dilaksanakan melalui pemeriksaan, penjatuhan
hukuman disiplin, dan pencatatan dalam buku hukuman. Pemeriksaan dilakukan oleh
Ankum, Perwira, atau Bintara (Pasal 14) yang mendapat perintah dari Aknum, atau
Pejabat lain yang berwenang. Untuk itu pemeriksa berwenang memanggil secara
resmi seorang prajurit yang diduga melakukan pelanggaran disiplin prajurit.
Selain itu, pemeriksa juga berwenang meminta keterangan para saksi dan
mengumpulkan alat-alat bukti lainnya. Pemeriksaan dilakukan secara langsung
tanpa paksaan sesuai Pasal 16 Undang-Undang No. 26 tahun 1997 dan hasilnya
dituangkan dalam Berita Acara pemeriksaan. Berita Acara pemeriksaan itu dan
alat-alat bukti lainnya disatukan dalam berkas Perkara Disiplin dan dilaporkan
kepada Ankum. Selain menerima berkas Perkara Disiplin, Ankum wajib segera
mengambil keputusan untuk menjatuhkan atau tidak menjatuhkan hukuman disiplin.
Putusan itu diambil setelah mendengar pertimbangan staf dan atau Atasan
langsung pelanggar yang bersangkutan. Untuk itu Ankum tidak boleh menjatuhkan
hukuman, apabila tidak sepenuhnya yakin tentang dapat dihukumnya pelanggarnya,
atau apabila Ankum mengambil keputusan untuk tidak menjatuhkan hukuman.
1.2 Penerapan Prinsip Pertanggungjawaban Pidana
Komando dalam
Hukum Internasional
Penerapan pinsip pertanggungjawaban
komando sebagaimana tampak dalam International
Military Tribunal Nuremberg (IMTN), International
Military Tribunal Tokyo (IMTT), International
Criminal Tribunal For Former Yugoslavia (ICTY) maupun International Criminal Tribunal For Rwanda (ICTR), telah
menempatkan para komandan atau atasan sebagai terdakwa. IMTN yang terbentuk
berdasarkan London Agreement tahun
1945, dan IMTT berdasarkan Instruksi Jenderal Mach Arthur tahun 1946 jo London
Agreement tahun 1945, merupakan peradilan penjahat PD II yang bersifat ad hoc
bentukan tentara sekutu pemenang perang atas tentara Nazi-Jerman maupun bala
tentara negara Jepang, telah menerapkan prinsip pertanggungjawaban komando atas
kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan terhadap hukum dan kebiasaan perang,
dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Demikian pula halnya dengan peradilan
internasional ad hoc yang terbentuk pasca Perang Dingin, yaitu International Criminal Tribunal For Former
Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal For Rwanda (ICTR).
[5]
Sejarah
pertanggungjawaban komando berkembang lebih jauh pasca PD II, melalui Tokyo
Tribunal yang menangani perkara Jenderal Tomoyuki Yamashita bahwa :[6]
a). Komandan harus bertanggungjawab kejahatan anak buahnya jika terpenuhi
unsur-unsur yang menjadi dasar dalam penuntutan pertanggungjawaban komando; b).
Komandan mengetahui atau seharusnya mengetahui anak buahnya akan melakukan
suatu kejahatan (perang) tetapi ia tidak mencegahnya; c). Komandan mengetahui
atau seharusnya mengetahui anak buahnya telah melakukan kejahatan tetapi ia
tidak menghukumnya.
Selanjutnya dari
perkara Admiral Soemu Toyoda (Kepala Staf Armada Gabungan Jepang) setidaknya dapat
dikemukakan beberapa hal :[7]
a. Elemen utama tindakan kejahatan (perang) yang
dilakukan bawahannya adalah atas perintah komandan, menyebabkan komandan
bertanggung jawab.
b. Dalam hal perintah tidak ada atau keberadaannya
diragukan maka pertanggungjawaban komando timbul bila terdapat elemen-elemen
pokok, yang berupa :
- Adanya atrocities (dilakukannya
pembunuhanpembunuhan secara keji) dengan adanya korban atau pemberitahuan
secara actual atau konstruktif;
- Laporan pemberitahuan actual tertuduh (komandan)
melihat kejahatan tersebut dilakukan atau diberitahu segera setelah kejahatan
terjadi;
-
Konstruktif, dalam lingkungan komando banyak terjadi kejahatan, sehingga
menurut akal sehat bahwa tertuduh (komandan) telah mengetahui
kejahatan-kejahatan tersebut terjadi;
- Adanya kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki
tersangka (komandan) untuk memberi perintah agar pelaku kejahatan menghentikan
tindakannya atau menghukum/menindak pelaku;
- Gagal
mengambil tindakan yang diperlukan (mencegah, menghentikan, dan menindak)
sesuai dengan kekuasaan yang dimilikinya dalam pengendalian pasukan.
International
Criminal Tribunal For Former Yugoslavia (ICTY)
dalam perkara Radovan Karadzic dan Ratko Mladic, menyebutkan bahwa keduanya
bertanggungjawab secara pidana karena militer dan polisi Bosnia Serbia yang
terlibat dalam kejahatan tersebut berada di bawah pengendalian, komando dan
perintahnya selama periode kekuasaannya. Melalui posisinya, keduanya tahu atau
terdapat alasan patut mengetahui bahwa bawahan mereka terlibat atau akan
terlibat kejahatan. Keterlibatan bawahan tersebut membuktikan bahwa keduanya
gagal mengambil langkah yang diperlukan dan masuk akal untuk mencegah tindakan
tersebut atau oleh karenanya menghukum pelaku. Berdasarkan prinsip
pertanggungjawaban komando Pasal 7 ayat (3) Statuta ICTY maka harus terbukti
lima unsur sebagai berikut :[8]
1. Status tersangka sebagai komandan atau
sipil yang memiliki kekuasaan yang sama dengan komando militer terhadap orang
yang melakukan pelanggaran;
2. Pelanggaran hukum (perang) telah terjadi
atau akan terjadi;
3. Komandan secara aktual mengetahui tindakan
pelanggaran hukum (perang) atau komandan memiliki pengetahuan yang memungkinkan
dia mengambil kesimpulan bahwa hukum perang telah dilanggar;
4. Komandan gagal
bertindak untuk menghentikan pelanggaran dengan melakukan pengusutan dan
menghukum para pelaku atau mengambil langkah untuk mencegah terjadinya
pelanggaran pada masa depan;
5. Kegagalan komandan
bertindak sebagai penyebab terjadinya kejahatan perang.
Putusan hakim International Criminal
Tribunal For Rwanda (ICTR) dalam perkara Jean Kambanda, menyebutkan bahwa unsur
pokok pertanggungjawaban komando adalah : [9]
1. Adanya hubungan
subordinasi antara komandan dan pelaku kejahatan, dalam hal ini dapat bersifat
hubungan langsung maupun hubungan tidak langsung (mengikuti hierarkhi rantai
komando);
2. Perlu dibuktikan
bahwa komandan mengetahui, atau seharusnya mengetahui bahwa pasukan di bawah
komandonya sedang, atau akan atau telah melakukan pelanggaran HI (mens rea);
3. Komandan telah gagal
melakukan pencegahan atau menghukum pelaku pelanggaran (actus reus).
Upaya menuntut pertanggungjawaban
pidana komandan atau atasan atas pelanggaran HAM berat setidaknya telah
dipraktikan dalam lembaga peradilan (HAM) ad hoc pasca Perang Dunia II hingga
pasca Perang Dingin. Selain peradilan internasional ad hoc di atas, upaya
menuntut pertanggungjawaban pidana komandan atau atasan dilakukan via
pembentukan Hybrid Tribunal yang bersifat ad hoc di Kamboja, Timor Leste maupun
Sira Leone, serta ICC sebagai peradilan internasional yang bersifat permanen.
Hal demikian dilihat dari teori hubungan HI dan HN, menunjukkan adanya
penggunaan teori Monisme Primat HI. Penggunaan teori tersebut tampak dari
instrumen hukum yang dijadikan sebagai dasar pendirian lembaga peradilannya.
Dasar hukum pendirian IMTN maupun IMTT sebagai lembaga peradilan (HAM)
internasional ad hoc adalah London Agreement tahun 1945, ICTR dan ICTY yang
juga merupakan peradilan internasional ad hoc adalah Resolusi DK-PBB, serta ICC
berdasarkan Statuta Roma 1998.
2.
Penerapan
Tanggung Jawab Komando dalam Putusan Pengadilan HAM
Ad Hoc dalam Kasus Pelanggaran HAM Berat di
Timor Timur
Pada tanggal 27 Januari 1999, pemerintahan B.J.
Habibie mengambil kebijakan untuk menyelesaikan masalah Timor Timur dengan
mengajukan dua opsi. Opsi pertama adalah pemberian otonomi khusus terhadap
rakyat Timor Timur, yang berarti tetap menjadi bagian dari wilayah Republik
Indonesia. Opsi kedua adalah menolak otonomi khusus yang berarti tidak lagi
menjadi bagian dari wilayah atau provinsi Republik Indonesia. Tawaran
penyelesaian melalui dua opsi menolak dan menerima otonomi itu dituangkan ke
dalam suatu perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Portugal, di bawah
naungan Sekretaris Jenderal PBB pada tanggal 5 Mei 1999 di New York. Dalam
perjanjia itu disepakati bahwa Pemerintah Indonesia bertanggung jawab terhadap
keamanan dan perdamaian di Timor Timur guna memastikan penentuan pendapat bisa
dilaksanakan dengan fair dan aman, bebas dari intimdasi, kekerasan atau campur
tangan dari berbagai pihak.
Seiring
dengan ditandatanganinya perjanjian New York itu, di Timor Timur muncul
berbagai gerakan politik yang mengartikulasikan kehendaknya masing-masing. Di
satu sisi ada gerakan yang menolak otonomi khusus yang direpresentasikan oleh
Conselho Nacional da Resistensia Timorense (CNRT) dan di sisi lain kelompok pro
otonomi khusus yang dimotori oleh para pejabat di Pemda Timor Timur, yang
mendapat dukungan dari Jakarta, terutama dari TNI dan Polri.
Bentuk
dari gerakan politik pro otonomi ini adalah mengonsolidasikan satuan-satuan
milisi yang sebelumnya pernah ada atau membuat nama-nama satuan milisi baru ke
dalam wadah perjuangan bersama dengan nama Pasukan Pejuang Integrasi dengan
badan politik Forum Perdamaian Demokrasi dan Keadilan (FPDK).
Perihal
kekerasan yang terjadi, telah timbul jauh hari sebelum pemerintah mengumumkan
opsi kedua pada 27 Januari 1999, sebagaimana ditunjukkan dalam kasus
pengepungan wilayah Kecamatan Alas, Manufahi di bulan Oktober 1998, Kecamatan
Cailako, Bobonaro di bulan Desember 1998, Kecamatan Maubara di bulan Januari
1999. Aksi kekerasan dengan modus pengepungan, pembakaran rumah dan pembunuhan
ini dilakukan oleh satuan-satuan milisi yang didampingi oleh anggota TNI dan
Koramil setempat yang juga berasal dari Timor Timur.
Tindak
lanjut perjanjian 5 Mei 1999 dan di tengah situasi pro kontra terhadap dua opsi
yang ditawarkan Jakarta, pada tanggal 30 Agustus 1999, rakyat Timor Timur
melaksanakan jajak pendapat. Hasilnya 78,5 persen dari peserta jajak pendapat
(334.580 pemilih) menolak opsi otonomi khusus, yang berarti memilih lepas dari
Republik Indonesia, sedangkan sekitar 21 persen (94.388 pemilih) memilih opsi
otonomi khusus, dan 1,8 persen (7.985 pemilih) dinyatakan tidak sah. Segera
setelah pengumuman hasil jajak pendapat pada tanggal 4 September 1999
terjadilah pelbagai bentuk kekerasan yaitu pembunuhan, pembumihangusan,
penjarahan, serta pengungsian penduduk secara besar-besaran.
Pada
tanggal 8 September 1999, Komnas HAM mengeluarkan pernyataan tentang kondisi
HAM di Timor Timur pasca jajak pendapat: bahwa perkembangan kehidupan
masyarakat Timor Timur pada waktu itu
telah mencapai kondisi anarki dan tindakan-tindakan terorisme telah dilakukan
secara luas, baik oleh perorangan maupun kelompok dengan kesaksian langsung dan
pembiaran oleh unsur-unsur aparat keamanan. Komisi HAM PBB di Geneva pada
tanggal 23-27 September 1999 menyelenggarakan special session mengenai situasi di Timor Timur sebagai tindak
lanjut konsultasi di antara anggota komisi atas permintaan Portugal pada 9
September 1999. Pemilihan suara menghasilkan 28 setuju diadakan special session, 15 menolak sedangkan 2
abstain. Resolusi tersebut meminta kepada Sekjen PBB untuk menetapkan komisi
penyidik internasional dengan perwakilan yang memadai dari ahli-ahli Asia dan
bekerja sama dengan Komnas HAM serta Pelapor Khusus guna mengumpulkan dan
megompolaskan informasi secara sistematis mengenai pelanggaran HAM yang
terjadi, dan tindakan-tindakan pelanggaran huum kemanusaian internasional di
Timor Timur. Komisi itu kemudian memberikan laporan dan hasil kerjanya pada
Sekjen PBB sebagai bahan masukan utnuk memberikan masukan.
Di
kesempatan itu, pada tanggal 23 September 1999, Kepala Perwakilan Tetap
Republik Indonesia di Geneva menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia pada malam
sebelumnya telah membentuk komisi pencari fakta untuk mengumpulkan informasi
tentang pelanggaran HAM. Komisi ini disambut baik oleh special session. Dalam laporan resminya kepada komnas HAM pada
tanggal 31 Januari 2000, KPP-HAM berhasil mengumpulkan fakta dan bukti yang
menunjukkan indikasi kuat terjadinya pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan
secara terencana, sistematis dalam skala besar dan luas berupa pembunuhan massal,
penyiksaan dan penganiayaan, penghilangan paksa, kekerasan terhadap perempuan
dan anak (termasuk di dalamnya perkosaan dan perbudakan seksual), pengungsian
paksa, pembumihangusan dan pengrusakan harta benda, yang kesemuanya merupakan
kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pengadilan
HAM ad hoc kasus Timtim (1999), dibentuk berdasarkan Keppres No. 53 tahun 2001
yunto Keppres No. 96 tahun 2001. Pengadilan HAM ad hoc berwenang mengadili para
pelaku pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan
berdasarkan prinsip pertanggungjawaban komando yang terjadi pasca jajak
pendapat dengan tempos delictie bulan
April hingga September 1999 dan locus
delictie meliputi Dili, Liquica dan Suai Kovalima. Para terdakwa yang
dituntut berdasarkan prinsip pertanggungjawaban komando berjumlah delapan belas
(18) orang yang terbagi dalam dua belas (12) berkas perkara. Para terdakwa yang
termasuk dalam kategori komandan militer terdiri dari sepuluh (10) orang, yaitu
: Liliek Koeshadianto (Mantan PLH Dandim Suai); Achmad Syamsudin (Mantan Kasdim
1635 Suai); Sugito (Mantan Danramil Suai); Asep Kuswani (Mantan Kasdim
Liquisa); Endar Priyanto (Mantan Dandim Dili); Sudjarwo (Mantan Dandim
Liquisa); Adam Damiri (Mantan Pangdam Udayana); Tono Suratman (Mantan Dandim
Wiradharma); Noer Muis (Mantan Danrem Wiradharma); dan Yayat Sudrajat (Mantan
Dansatgas Tribuana). Para terdakwa yang termasuk dalam kategori atasan polisi
terdiri dari empat (4) orang, yaitu : Timbul Silaen (Mantan
Kapolda Timtim); Gatot Subiyaktoro (Mantan Kapolres Suai); Adios Salopa (Mantan
Kapolres Liquisa); dan Hulman Gultom (Mantan Kapolres Dili). Para terdakwa yang
termasuk dalam kategori atasan sipil lainnya terdiri dari empat (4) orang,
yaitu : Abilio Jose Soares (Mantan Gubernur Timor Timur); Herman Sedyono
(Mantan Bupati Covalima); Leonito Martin (Mantan Bupati Liquisa); Eurico
Guterres (Mantan Wakil Panglima Pro Integrasi).[10]
Para terdakwa oleh
majelis hakim pengadilan HAM ad hoc pada tingkat pertama telah diputus bebas
sebanyak 66,67 %, diputus 3 tahun penjara 16,67 %, diputus selama 5 tahun
penjara 11,11 %, dan yang diputus pidana penjara selama 10 tahun sebanyak 5,56
%. Pada tingkat banding sebanyak 16,67 % para terdakwa oleh majelis hakim telah
diputus 3 tahun pidana penjara, yang berarti menguatkan putusan pengadilan HAM.
Sebanyak 66,67 % diputus bebas yang sebelumnya oleh majelis hakim pengadilan
HAM diputus dengan pidana penjara selama 3 dan 5 tahun. Selanjutnya sebanyak
16,67 % terdakwa pada tingkat banding diputus pidana penjara 5 tahun yang mana
sebelumnya pada tingkat pertama diputus dengan pidana penjara 10 tahun. Pada
tingkat kasasi sebanyak 88,89 % para terdakwa diputus bebas, sedangkan sisanya
11,11 % diputus dengan pidana penjara masing-masing selama 3 tahun (a/n
terdakwa Abilio Jose Soares mantan Gubernur Timtim) dan 10 tahun (a/n terdakwa
Eurico Guterres mantan wakil panglima pro integrasi). Khusus untuk Abilio Jose
Osorio Soares dan Eurico Guterres pada pemeriksaan Peninjauan Kembali (PK),
oleh majelis hakim Agung MA 100 % telah diputus bebas.[11]
Dengan
mencermati putusan pengadilan HAM Ad Hoc pada kasus pelanggaran berat HAM di
Timor-Timor maka terdapat delik yang berkaitan dengan tanggung jawab komando
(Pasal 42 UU No. 26 tahun 2000) yaitu:[12]
1. Putusan
yang menjelaskan tanggung jawab komando hanya berkaitan dengan adanya hubungan
antara atasan dan bawahan, antara pelaku dan terdakwa, yang telah memenuhi
adanya unsur keterlibatan (involvement),
hubungan (connection), pengetahuan (knowledge) atau maksud (intent) dari seorang komandan dengan
tindakan kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya tersebut. Selain itu juga
pertanggungjawaban seorang komandan terhadap kejahatan pada kasus tersebut
didasarkan pada terjadinya pelanggaran terhadap tugas (breach of duty). Ada dua
alasan yang harus menjadi dasar pertimbangan untuk menilai bahwa suatu
pelanggaran terhadap tugas telah mengakibatkan terjadinya kejahatan:
·
Pelanggaran
terhadap tugas atau dinas tersebut harus mempunyai hubungan langsung atau
menjadi penyebab utama dari timbulnya kejahatan. Dalam hal ini, kejahatan tidak
akan terjadi jika tidak terjadi pelanggaran terhadap kewajiban dinas.
·
Komandan harus
memiliki kewenangan dan kekuasaan untuk mencegah terjadinya tindak pidana/
kejahatan tersebut. Jika komandan tidak memiliki kewenangan atau kekuasaan
untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk mencegah, menghentikan dan
menindak kejahatan dan pelakunya sekaligus, maka tentu saja tidak tepat untuk
menuntut pertanggungjawaban pidana berdasarkan doktrin tanggung jawab komando.
2. Pengendalian
atau kontrol yang efektif secara umum ditafsirkan sebagai suatu kondisi yang
menjelaskan atasan secara sungguh-sungguh mampu menggunakan kekuasannya
bilamana ia menginginkannya. Dengan demikian istilah tersebut menunjuk kepada “material ability” untuk mencegah dan
menahan tindak pidana. Mengenai unsur tindak pidana tersebut merupakan akibat
dari tidak dilakukannya pengendalian pasukan secara patut, menurut pengadilan
mengandung arti atasan gagal mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna
mencegah atau menghentikan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat
yang terjadi di dalam wilayah kekuasaannya yang efektif.
3.
Mengenai
unsur “mengetahui atau berdasarkan
keadaan yang berlangsung saat itu”, seharusnya mengetahui bahwa pasukannya
sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang
berat”, pengadilan menyatakan bukan berarti pasukan tersebut harus secara aktif
melakukan penyerangan namun dengan sikap pasif pun artinya pasukan tersebut
tidak melakukan tindakan pencegahan atau gagal untuk menghentikan terjadinya
pelanggaran HAM yang berat, pasukan tersebut sudah termasuk sedang melakukan
atau baru saja melakukan pelanggaran HAM yang berat.
Selanjutnya penerapan tanggung jawab komando yang
juga berkenan kegagalan bertindak atau kegagalan untuk melakukan langkah-
langkah yang selayaknya. Dalam hal ini factor posisi terdakwa dengan
kewenangannya merupakan faktor penting dalam mentukan peranan terdakwa dalam
peristiwa pelanggaran HAM yang berat yang terjadi. Pandangan ini menjelaskan
bahwa atasan tidak hanya bertanggung jawab terhadap tindak pidana yang
dilakukan oleh bawahannya dalam pengendalian yang efektif tetapi juga tetap
harus bertanggungjawab juga terhadap tindak pidana yang terjadi akibat tidak
dilakukannya pengendalian pasukan secara patut, artinya atasan gagal mengambil
langkah-langkah yang diperlukan guna mencegah atau menghentikan terjadinya
pelanggaran HAM yang berat yang terjadi didalam wilayah kekuasannya yang
efektif.
Penerapan tanggung
jawab komando dalam kasus tersebut (Timor-Timur) cenderung juga pada Pasal 28
ICC sebagaimana perumusannya sama dengan Pasal 42 UU NO 26 tahun 2000 yang
perumusannya adalah: [13]
1.
Bahwa komandan militer mengetahui atau
berdasarkan keadaan yang berlangsung saat itu, seharusnya telah mengetahui
bahwa pasukannya sedang melakukan atau akan melakukan kejahatan;
2.
Bahwa komandan militer tidak berhasil
mengambil semua tindakan yang semestinya dan diperlukan sesuai kewenangannya
untuk mencegah atau menindak terjadinya kejahatan.
C. PENUTUP
A. KESIMPULAN
1.
- UU No. 26 tahun 2000 sebagai dasar
hukum penuntutan pertanggungjawaban komando atas pelanggaran HAM berat di
Indonesia, merupakan bentuk pertanggungjawaban negara secara internasional
dengan mengadili para pelaku pelanggaran HAM berat menggunakan sarana hukum
nasionalnya. Pengaturan pertanggungjawaban komando atas pelanggaran HAM berat
dalam ketentuan Pasal 42 UU No. 26 tahun 2000, memberi pengaturan bahwa pertanggungjawaban
di lingkup militer, seorang komandan tidak dapat bebas dari pertanggungjawaban
pidana, apabila ia mengetahui bahwa anak buanya telah atau akan melakukan
kejahatan yang berhubungan dengan tugas mereka dan sepanjang perbuatan tersebut
bersifat melawan hukum dan jika ia tidak mencegah/bertindak dan hanya
membiarkan/tidak melakukan sesuatu (omission)
maka komandan tersebut tetap dipertanggungjawabkan, karena adanya hubungan
khusus, antara komandan (superior) dan
bawahan (inferior).
- Pengaturan pertanggungjawaban berkembang pada upaya pengaturan dalam
suatu instrumen hukum, antara lain dalam Piagam Nuremberg Jerman, Statuta ICTY
dan Statuta ICTR, serta Statuta Roma tentang ICC. Penerapan pinsip
pertanggungjawaban komando sebagaimana tampak dalam International Military Tribunal Nuremberg (IMTN), International Military Tribunal Tokyo
(IMTT), International Criminal Tribunal
For Former Yugoslavia (ICTY) maupun International
Criminal Tribunal For Rwanda (ICTR), telah menempatkan para komandan atau
atasan sebagai terdakwa.
2. Dengan
mencermati putusan pengadilan HAM Ad Hoc pada kasus pelanggaran berat HAM di
Timor-Timor maka terdapat delik yang berkaitan dengan tanggung jawab komando (Pasal
42 UU No. 26 tahun 2000) yaitu:
1. Putusan
yang menjelaskan tanggung jawab komando hanya berkaitan dengan adanya hubungan
antara atasan dan bawahan, antara pelaku dan terdakwa, yang telah memenuhi
adanya unsur keterlibatan (involvement),
hubungan (connection), pengetahuan (knowledge) atau maksud (intent) dari seorang komandan dengan
tindakan kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya tersebut. Selain itu juga
pertanggungjawaban seorang komandan terhadap kejahatan pada kasus tersebut
didasarkan pada terjadinya pelanggaran terhadap tugas (breach of duty). Ada dua
alasan yang harus menjadi dasar pertimbangan untuk menilai bahwa suatu
pelanggaran terhadap tugas telah mengakibatkan terjadinya kejahatan:
·
Pelanggaran
terhadap tugas atau dinas tersebut harus mempunyai hubungan langsung atau
menjadi penyebab utama dari timbulnya kejahatan. Dalam hal ini, kejahatan tidak
akan terjadi jika tidak terjadi pelanggaran terhadap kewajiban dinas.
·
Komandan harus
memiliki kewenangan dan kekuasaan untuk mencegah terjadinya tindak pidana/
kejahatan tersebut. Jika komandan tidak memiliki kewenangan atau kekuasaan
untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk mencegah, menghentikan dan
menindak kejahatan dan pelakunya sekaligus, maka tentu saja tidak tepat untuk
menuntut pertanggungjawaban pidana berdasarkan doktrin tanggung jawab komando.
2. Pengendalian
atau kontrol yang efektif secara umum ditafsirkan sebagai suatu kondisi yang menjelaskan atasan secara sungguh-sungguh mampu menggunakan kekuasannya
bilamana ia menginginkannya. Dengan demikian istilah tersebut menunjuk kepada “material ability” untuk mencegah dan
menahan tindak pidana. Mengenai unsur tindak pidana tersebut merupakan akibat
dari tidak dilakukannya pengendalian pasukan secara patut, menurut pengadilan mengandung arti atasan gagal mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna
mencegah atau menghentikan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat
yang terjadi di dalam wilayah kekuasaannya yang efektif.
3. Mengenai unsur
“mengetahui atau berdasarkan keadaan yang berlangsung saat itu”,
seharusnya mengetahui bahwa pasukannya sedang melakukan atau baru saja
melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat”, pengadilan menyatakan
bukan berarti pasukan tersebut harus secara aktif melakukan penyerangan namun
dengan sikap pasif pun artinya pasukan tersebut tidak melakukan tindakan
pencegahan atau gagal untuk menghentikan terjadinya pelanggaran HAM yang berat,
pasukan tersebut sudah termasuk sedang melakukan atau baru saja melakukan
pelanggaran HAM yang berat.
B. SARAN
1. Menyarankan
kepada pemerintah untuk sesegera menuntaskan peristiwa yang berdasarkan hasil
penyelidikan Komnas HAM telah terjadi pelanggaran HAM berat kategori kejahatan
terhadap kemanusiaan yang mana para pelakunya dapat dituntut berdasarkan
prinsip pertanggungjawaban komando.
2. Menyarankan kepada DPR-RI sebagai
lembaga legislasi Indonesia memasukkan ketentuan kejahatan perang sebagai
Pelanggaran HAM berat yang belum diatur dalam UU No 26 tahun 2000. Baik dengan
mengesahkan RUU KUHP maupun melakukan amandemen terhadap UU No 26 tahun 2000
yang hanya mengatur mengenai genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan
sebagai pelanggaran HAM berat.
DAFTAR PUSTAKA
Marzuki,
Suparman, 2012, Pengadilan HAM di
Indonesia, Jakarta, Penerbit
Erlangga.
Prinst,
D, 2002, Peradilan Militer, Bandung,
Citra Aditya Bakti.
Prasetyohadi dan Anton Prajasto,
2001, Tentang Tanggung Jawab Komando :
Mengembalikan Kehormatan
Komandan, Makalah Lokakarya
Internasional “Kejahatan Terhadap
Kemanusiaan” Jakarta, Komnas
HAM.
Sumber jurnal
Ferenc
SÁNTHA, Special Responsibility of Superiors (Commanders) in The
International Criminal Law, http://eds.a.ebscohost.com/2013, diakses
pada 20 April 2015.
Vonny
A. Wongkar, Tanggung Jawab Komando Terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia
(HAM) yang Berat dan Kejahatan Perang dalam Pembaharuan Hukum Pidana di
Indonesia, Tesis Magister (Semarang: Universitas Diponegoro,2006).
Joko
Setiyono, Pertanggungjawaban Komando (Command Responsibility) dalam
Pelanggaran HAM Berat (Studi Kasus Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Di Indonesia),
Disertasi Doktor (Semarang: Universitas
Diponegoro, 2010).
Joko
Setiyono, Pertanggungjawaban Komando (Command Responsibility) dalam
Pelanggaran HAM Berat (Studi Kasus Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Di Indonesia),
Ringkasan Disertasi Doktor (Semarang:
Universitas Diponegoro, 2010).
[1] Ferenc SÁNTHA,
Special Responsibility of Superiors (Commanders) in The International
Criminal Law, http://eds.a.ebscohost.com/2013,
hal 1.
[2]
Vonny
A. Wongkar, Tanggung Jawab Komando Terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia
(HAM) yang Berat dan Kejahatan Perang dalam Pembaharuan Hukum Pidana di
Indonesia, Tesis Magister (Semarang: Universitas Diponegoro,2006), hal 90.
[5]
Joko Setiyono, Pertanggungjawaban
Komando (Command Responsibility) dalam Pelanggaran HAM Berat (Studi Kasus
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Di Indonesia), Disertasi Doktor (Semarang: Universitas Diponegoro, 2010), hal 42.
[10] Joko Setiyono, Pertanggungjawaban Komando
(Command Responsibility) dalam Pelanggaran HAM Berat (Studi Kasus Kejahatan
Terhadap Kemanusiaan Di Indonesia), Disertasi Doktor (Semarang: Universitas Diponegoro, 2010), hal 284.
[12]
Vo 113 Vonny
A. Wongkar, Tanggung Jawab Komando Terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia
(HAM) yang Berat dan Kejahatan Perang dalam Pembaharuan Hukum Pidana di
Indonesia, Tesis Magister (Semarang: Universitas Diponegoro,2006), hal 113.